21. Bungkusan Hitam

181 20 11
                                    

"Dith, udah." Sasa mendorong bahu Yudith, dia mundur dan memegang bibirnya. "Sakit tahu, kamu bikin bibir aku pedih."

Tidak seperti Sasa yang mengatur napas. Yudith tampak tenang, dia menatap Sasa dekat dan menyingkirkan jemari yang sedang meraba titik perih.

"Hmm, ini bekas yang kemarin masih ada, ya?"

"Kamu cium aku setiap hari, ya jelas masih ada. Kemarin kamu cium aku, kemarinnya lagi juga, kemarin dan kemarin." Sasa menekuk bibir cemberut, "Kamu suka nggak sih sama aku sebenarnya?"

"Aku suka bibir kamu."

"Bukan bibir aku, tapi aku."

Yudith diam sebentar, memasang wajah agak bingung, dan rupanya itu membuat Sasa  tersinggung.

"Ya, mungkin aku suka sama kamu juga. Aku belum coba."

"Belum coba? Belum coba apa maksudnya? Kamu ngomong apa sih, Dith?"

Yudith agak kaku sesaat, dia berdehem dan berkata, "Emangnya aku boleh cobain kamu?"

Sesaat Sasa terdiam, tak menangkap apa pembicaraan Yudith, tapi mendapati Yudith yang memandang ke arah tubuhnya, dia langsung paham apa yang Yudith maksud dan menyebut nama teman sekelasnya hampir seperti bentakkan.

"Yudith!" Ini menjengkelkan sekali bagi Sasa. "Kamu nganggap aku sebagai apa sih? Objek seksualitas kamu, ya?"

"Enggak, kamu teman sekelas aku."

"Emang teman sekelas ciuman? Emang kamu ciuman sama seluruh perempuan di kelas? Di sekolah?! Di dunia yang fana ini? Kamu cium mereka semua, Dith?!"

"Aku ciuman sama kamu doang." Yudith menjawab cepat, tak ada dosa pada ekspresinya. Seakan itu adalah hal biasa yang memang seharusnya dilakukan pada teman sekelas.

"Ya, terus?"

"Terus apa?"
 
"Ah, udah deh. Percuma juga ngomong sama kamu. Semuanya sia-sia."

Yudith kembali hanya bisa diam, dia tak mengerti apa sebenarnya yang Sasa inginkan. Matanya menatap Sasa yang sibuk dengan urusan sendiri. Pura-pura sibuk membereskan kekacauan yang ada, padahal tidak ada yang kacau, tidak ada yang perlu dibereskan.

Satu-satunya yang perlu Sasa perhatikan dan tahu apa yang perlu dibenah adalah perasaannya. Perasaan Sasa yang kacau. Ciuman dengan Yudith tanpa ikatan yang jelas, terjadi berulang-ulang.

Sasa merasa harga dirinya sangat rendah karena hal itu.

"Sa." Yudith memanggil nama Sasa, sedikit ada perasaan aneh dalam diri karena Sasa mendadak berubah jadi merajuk begini. "Kamu kenapa?"

"Nggak ada apa-apa. Kamu nggak ada urusan lagi, kan? Pulang aja deh, aku nggak enak badan."

"Kenapa kamu nyuruh aku pulang?"

"Kenapa kamu mau tetap ada di sini? Emangnya mau ngapain? Kamu mau cium aku lagi."

"Boleh kalau kamu mau."

"Yudith!" Sasa berteriak jengkel menyebut nama Yudith. "Kamu kenapa sih? Aku marah tahu."

Yudith makin menatap bingung. Dia mencoba berpikir keras, bagian mana yang membuat Sasa marah, tapi tetap saja Yudith tidak menemukannya.

"Kamu nggak mau ciuman sama aku lagi?"

Mendengar pertanyaan itu dan sikap bodoh Yudith. Sasa menjadi tak tahan, dia menarik tangan Yudith dan menggeretnya paksa untuk keluar. "Kamu pulang aja, pulang!"

"Kenapa?"

"Aku marah sama kamu."

Yudith dituntun Sasa mengikuti arah kemana Sasa membawanya. Sampai ke depan pintu, Sasa mendorong tubuh Yudith keluar. "Aku mau tidur, aku capek dan aku nggak mau diganggu."

Your Pretty Like Blood In The SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang