11. Laki-laki berbahaya

91 11 0
                                    

Sasa masih memasang wajah bingung, hanya saja kali ini gadis itu sedikit cemas. Dia mencoba membuka pintu mobil, tapi tidak bisa.

"Dith, kenapa dikunci?"

Yudith hanya memandang gadis itu datar, punggung menempel bersandar di kursi jok, lalu mengamati wajah Sasa yang mulai panik.

"Dith panggilnya? Lo nggak aneh-aneh, kan?"

Dahi Yudith berkerut, lalu alisnya naik sebelah. "Maksud lo?"

"Kenapa lo bisa tahu gue tinggal dimana? Lo ngintilin gue, ya?"

"Tck." Yudit berdecak lalu kembali membuka tombol kunci otomatis mobil dan Sasa bisa benapas lega. "Udah lo keluar sana."

"Tunggu, lo bisa tahu darimana gue tinggal di sini?"

"Lo sendiri yang bilang."

"Kapan?" Sasa menggali ingatan, tapi dia dengan yakin tidak pernah mengatakan alamatnya pada laki-laki itu.

"Lo bilang lo tinggal di kawasan pasar lama."

"Tapi kan gue nggak pernah bilang kalau kosan gue di sini."

Yudith menarik napas dalam, lalu mengembuskannya. Dia membuka jendela kaca dan menunjuk salah satu gedung tak jauh dari tempat itu. "Lo tahu minimarket yang itu?"

Sasa menoleh ke arah yang Yudith tunjuk.

"Itu punya keluarga gue. Gue hapal daerah sini dan gue juga sering keliaran di sini. Satu-satunya kos dengan harga untuk kelas menengah kayak lo ya cuma kos Pak Eja. Kos yang lain mahal."

Ternganga mulut Sasa mendengarnya.

"Gue juga tahu lo punya kucing namanya Miko. Kucing oren kan."

Sasa menganggukkan kepala. Masih dengan bibir terbuka. "Kok lo tahu."

"Lo sendiri yang bilang."

"Gue udah cerita sejauh itu?"

"Gue bahkan tahu bentuk fisik kucing lo."

"Lo tahu darimana?"

Yudith mendecak lidah, lalu menutup kaca jendelanya kembali. "Males gue. Udah lo turun sana. Kalo lo curigaan sama gue, lain kali nggak perlu minta tolong. Urus urusan lo sendiri, Sa."

Sasa memanyunkan bibirnya. "Maaf, Dith. Gue kan was-was. Namanya juga anak rantau."

"Giliran begini lo bawa-bawa anak rantau, tapi tadi enggak tuh. Lo nuduh gue, mencurigai gue, bilang gue yang aneh-aneh. Denger, ya, Sa. Lantaran kita temen sekelas aja gue mau bantu. Lo yang bahkan udah maling buku gambar gue, masih mau gue percaya, dan sekarang lo nuduh gue. Lo maunya apa sih, Sa? Lo bahkan nggak bilang makasih."

Yudith mengakhiri gas lighting-nya. Sebuah teknik manipulasi yang membuat lawan bicara mempertanyakan validasi dari pernyataan sendiri. Dari mulanya merasa benar, kemudian mempertanyakan kebenaran itu, lalu merasa bersalah.

Sasa memang tidak pernah memberitahu alamatnya pada siapa pun. Yudith saja yang sudah lebih dahulu mencari informasi tentang gadis di sebelahnya, tapi memang pada dasarnya Yudith pandai bersilat lidah. Semua itu dia balik dengan gampang dan kembali membuat Sasa tertekan.

Tidak ada cara yang lebih baik menunggangi orang lain selain menggunakan rasa sungkan dan bersalah mereka, dan Yudith tahu Sasa mulai mati langkah padanya.

"Besok kita nggak usah kenal lagi." Yudith menambah ancaman.

"Dith," kata Sasa cepat. "Maafin gue. Gue nggak maksud, soalnya lo tadi ngunci mobilnya. Terus tiba-tiba kita udah sampai tanpa gue kasih tahu alamat. Siapa aja kalau jadi gue curiga."

Your Pretty Like Blood In The SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang