16. Penawaran yang ditolak

220 24 15
                                    

Tidak semudah kelihatannya. Sulit bagi Sasa untuk menghilangkan jejak bibir Yudith di area leher dan permukaan atas dada. Kulit putih yang dimiliki gadis itu membuat perbedaan warna menjadi sangat kontras dan mencolok.

Sasa sampai stress sendiri karena sudah hampir setengah jam berkutat dengan kissmark di badan.

"Ini gimana sih? Apa kurang dempul, ya?" Dia menambahkan liquid foundation ke punggung tangan, lalu mentotolnya di bagian merah. Meratakan sambil berharap itu akan berhasil.

Setelah ragam usaha, meski tidak seratus persen. Jejak bibir Yudith akhirnya tersamarkan. Sasa bisa bernapas lega dan memakai seragam olah raga dengan tenang.

Hari ini sabtu, jadwalnya untuk senam bersama dan sepertinya Sasa akan agak sedikit terlambat sekitar sepuluh menit dari waktu biasa berangkat.

Setelah memesan ojek online lewat aplikasi. Gadis itu turun dari tangga kala mendapat panggilan telpon.

"Bentar, Pak. Saya ke sana." Suaranya terdengar buru-buru sambil terus menjaga ponsel di telinga, begitu sampai di gerbang kos, langkah Sasa terhenti, berikut panggilan yang berlangsung.

Seseorang lain tanpa dia sangka telah menunggu kedatangan gadis itu, dengan ponsel di tangan dan kepala yang menunduk.

Sasa diam sebentar, tak tahu harus bereaksi seperti apa melihat orang yang semalam masuk ke dalam daftar tak mau dia temui tiba-tiba ada di depan mata.

Punggungnya bersandar di badan mobil, dua kaki bersilang saling menimpa. Dia menatap sosok di hadapannya yang juga membalas dengan pandangan sama.

"Sa?"

"Yudith?"

Tepat di belakang kendaraan Yudith. Seorang pria empat puluh tahun memanggil Sasa untuk mendekat.

"Neng Sasa, bukan?"

"Ah, iya, Pak. Saya."

"Yang mesen ojek, kan? Ayo, buru, Neng. Nanti telat."

Sasa melangkah ragu, dia menatap Yudith sekilas tapi tetap menuju jemputan yang sudah dia pesan sebelumnya. Yudith ikut memandang mengikuti arah berjalan gadis itu, saat lewat di dekatnya. Ujung tas Sasa ditarik ke belakang dan membuat tubuhnya hampir terjengkang.

"Akhh. Jangan ditarik dong, Dith."

"Mau kemana?"

"Naik ojek lah. Gue mau berangkat ke sekolah."

"Bareng gue aja."

"Lo nggak lihat gue udah mesen?"

Yudith memandang pada sosok yang dimaksud, dia berjalan mendekat dan merogoh pecahan uang seratus ribu. "Balik aja, Pak. Saya yang antar dia."

"Ini nggak kebanyakan, Mas?"

"Nggak apa-apa, ambil aja."

Senyum supir ojek online mengembang cerah. Dia mengangguk pada Yudits sekali sambil mengucapkan kata terima kasih. "Saya pergi dulu, ya, kalau gitu. Makasih banyak, Mas."

"Sama-sama."

Setelah tersisa hanya dirinya dan Sasa. Yudith berbalik dan membuat mereka saling berhadapan. Tak habis pikir apa yang mendorong laki-laki itu sampai memunculkan diri di sini. Seolah melupakan kejadian kemarin yang dia ulang dari kejadian kemarinnya lagi.

"Ayo berangkat."

"Berangkat kemana?"

"Menurut lo kemana? Kita keliatan mau menculik anak SD, Sa?"

"Lo aja. Gue mau mesen ojek baru buat ke sekolah."

"Sa." Yudith memegang pergelangan tangan gadis itu, merampas ponselnya dan menyimpan di balik punggung.

Your Pretty Like Blood In The SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang