Bukan FrenchFries

3K 213 2
                                    

Jeno menggeliat pelan. Matanya perlahan terbuka dan mengerjapkan matanya pelan.

Beberapa lama terdiam, dia terduduk langsung dengan keterkejutan nya.

"Mimpi?"

"Yang tadi mimpi?"

"Beneran? hah? serius?"

"Rasanya kayak nyata? ternyata mimpi?"

Jeno celingukan dengan ekspresi linglung, namun pikirannya terus bertanya-tanya.

Jeno menatap jam di nakas nya yang menunjukkan pukul 5 sore. Dia juga menatap keluar lewat balkonnya yang ternyata hujan turun dengan deras.

Jeno kembali merebahkan tubuhnya, berguling-guling untuk menemukan posisi nyamannya hingga akhirnya dia terlentang dengan tangan dan kaki yang di rentangkan.

Telinganya menangkap suara pintu kamarnya yang di buka dengan pelan, namun dia enggan membuka matanya.

"Jeno? bangun udah sore." ucap Johnny sambil mendekati ranjang Jeno.

Dia duduk di pinggiran ranjang, menatap Jeno yang matanya setengah terbuka.

"Bangun, udah sore ini. Mandi terus makan dulu, habis itu boleh tidur lagi." ucap Johnny.

Jeno berkedip pelan dan melengos, menolehkan kepalanya ke arah dinding.

Detik berikutnya, Jeno dibuat terkejut saat Johnny memeluknya dan mengecupi seluruh wajahnya dengan kecupan kupu-kupu.

"Bangun, sayangku~"

Suara Johnny terdengar begitu lembut memasuki gendang telinga Jeno. Dia langsung menatap Johnny dengan mata membulatnya.

"Kenapa?" bingung Johnny.

"Tadi kita nge-gym?" tanya Jeno dengan suara seraknya yang diangguki Johnny.

"Terus?"

Johnny menaikkan kedua alisnya, bingung.

"Ya, olahraga dan Ayah confess dan kamu juga, dan pelukan dan kis—"

"Sttaapp!" Jeno langsung saja membekap mulut Johnny saat ingatannya sudah kembali.

'Kirain mimpi tadi, asli dah.'

"Kamu kira kamu mimpi?" tanya Johnny tepat sasaran.

Jeno mendusal pada dada Johnny dan mengangguk pelan. Membuat Johnny terkekeh kecil dibuatnya.

"Sekarang mandi, kamu bau asem."

Jeno menggeleng cepat, justru dia mengeratkan pelukannya pada Johnny dan terus mengusakkan wajahnya di dada Johnny.

"Loh, kenapa ini? kok males mandi?"

"Dingin!"

Johnny tersenyum. Dalam gerakan cepatnya, dia menggendong Jeno ala koala dan berdiri dengan cepat. Tentu saja itu membuat Jeno terkejut.

"Kalo gitu, biar Ayah yang mandiin kamu." ucap Johnny menaik turunkan alisnya.

Segera Johnny membawa Jeno ke kamar mandinya, meski Jeno terus memberontak, tapi Johnny berhasil mendudukkan Jeno di dalam bathtub kering nya.

Langsung saja Jeno menampilkan wajah kesalnya pada Johnny.

"Liat, ini Ayah bikin rumah mewah begini biar kamu nyaman. Disini ada dua kran air, ada tulisannya juga kan? putar ke kanan hangat kuku, ke kiri dingin seger."

Jeno tetap mendengus kesal, dia hanya malas mandi.

"Atau mau beneran Ayah mandiin?" tanya Johnny bersiap membuka baju Jeno.

"Noo!!" teriak Jeno langsung.

Johnny tertawa melihatnya. "Yaudah, mandi habis itu turun, kamu belum makan."

****

Selesai mandi, Jeno menggunakan dalamannya saja, dengan atasan shirtless kemudian dibalut bathrobe nya. Dia menuruni tangga sesuai dengan perintah Ayah nya.

Johnny yang tengah duduk santai di ruang tengah menaikan sebelah alisnya melihat Jeno turun hanya menggunakan bathrobe.

'Akhir-akhir ini dia sering cuma pake bathrobe, did he flirts? atau karena udah ngerasa nyaman aja ya sama Gua?'

'Iya mungkin, jangan mikir kotor dulu, John. Belum waktunya!'

"Ayah!" seru Jeno mengganggu self-reminder Johnny yang cukup singkat.

"Ya?" sahut Johnny setelah terkesiap.

"Ayo makan, Jeno udah laper."

Johnny mengangguk, dia berlalu ke dapur yang di buntuti Jeno di belakangnya.

Mereka makan dengan menu fastfood yang Johnny beli tadi. Dan langsung saja mereka makan dalam keadaan hening karena Johnny memang mengajarkan Jeno untuk tidak bersuara saat makan.

"Em, biar Jeno yang cuciin." ucap Jeno mengambil piring kotor Ayah nya.

Johnny mengangguk singkat, membiarkan Jeno berlalu ke kitchen setnya sambil membawa piring kotornya.

Johnny meneguk lagi segelas lemon tea nya. Sebelum kemudian dia membawa gelasnya untuk di cuci juga oleh Jeno.

"Satu lagi," ucap Johnny sambil memberikan gelasnya pada Jeno.

Bukannya pergi setelah melakukan itu, Johnny justru memeluk Jeno dan dengan nyaman mendusal pada ceruk leher Jeno.

Cucian piring Jeno yang tidak banyak pun selesai. Dia sedikit bergeser untuk menata piring-piring yang sudah di cucinya. Dan ya, Johnny yang tidak mau lepas pun masih saja mengikuti Jeno sambil memeluknya.

Bahkan sampai Jeno mencuci anggur yang akan di makannya pun Johnny masih saja menempel.

"Mau juga," ucap Johnny membuka mulutnya.

Jeno menyuapkan tiga biji anggur sekaligus pada Johnny yang tentu saja bisa di lahapnya dengan mudah.

"Besok beli mangga, ya? Jeno pengen mangga. Tapi harus yang manis dan gak benyek banget." ucap Jeno sembari bersandar pada Johnny dan mengusap tangan Johnny yang di perutnya.

"Mhm, nanti pulang kerja Ayah belikan."

Johnny mengeratkan pelukannya dan mulai menciumi ceruk leher Jeno. Empunya pun tak menolak, dia justru memberikan akses sambil masih mengunyah anggurnya.

"Geli, Ayah." Ucap Jeno pelan.

Johnny tersenyum kecil, dia menaikkan ciumannya ke jawline Jeno, dari dagu hingga ke belakang telinga, setiap inchinya Johnny kecupi.

Detik berikutnya tubuh Jeno berbalik, berhadapan dengan Johnny yang langsung melahap bibir Jeno setelah berpandangan sekilas.

Awalnya Jeno tidak membalas ciuman Johnny sama sekali, tapi saat Johnny memeluk pinggangnya erat, langsung saja bibirnya bergerak mengikuti pergerakan Johnny.

Bibir Jeno di lumat habis oleh Johnny, bahkan di hisap dan digigit pelan.

"Mmh.." rintih Jeno sesekali.

Entah insting dari mana, Jeno mengalungkan tangannya ke bahu Johnny, sambil dia menjulurkan lidahnya yang langsung di lahap Johnny.

Mata Jeno yang semula terus bertatapan dengan Johnny pun perlahan tertutup.

"Mmhh emm—eng!" pekik Jeno pelan saat Johnny menghisap kuat bibirnya sebelum melepaskan ciuman mereka.

Dada Jeno tampak naik turun mengatur nafas yang hampir habis.

Sedangkan Johnny tersenyum senang menatap Jeno saat ini.

Tangan Johnny menyeka dan mengusap-usap bibir Jeno yang merah dan sedikit membengkak. Membuat Johnny kembali melahap bibir Jeno yang empunya pun tak menolak.

Inner ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang