Jealousy Jealousy

4.3K 308 10
                                    

Kantor Johnny mendadak beraura mencekam, tepat setelah Johnny kembali dari sekolah Jeno.

Bukan karena hantu, tapi karena Johnny sendiri.

Bahkan sapaan yang biasanya dilakukan karyawan pun tidak ada, karena melihatnya saja sudah membuat karyawan memilih tidak berpapasan dengan Johnny.

Johnny pun berlalu dengan cepat ke ruangannya, yang ternyata terdapat Yuta terduduk di sofa dengan beberapa berkas yang berserakan di meja.

Yuta mengerutkan dahinya melihat temannya yang tampak diliputi aura hitam.

Dia duduk di kursi kebesarannya dan meletakkan kepalanya diantara lipatan tangannya.

"Kenapa, John?" tanya Yuta dengan ragu.

Dia juga sebenarnya takut pada Johnny jika dalam suasana seperti ini. Walaupun dia sahabat Johnny.

Hening, tidak ada jawab hingga belasan detik.

"Jeno lebih sayang Jeavin dari pada Gua."

Yuta semakin heran mendengarnya.

"Kan? dia juga bapaknya Jeno." ucap Yuta, lagi-lagi dengan ragu.

"Tapi dia selalu keliatan ketakutan kalo sama Gua, kenapa?. Padahal Gua juga jagain dia, Gua juga lembut ke dia, hangat, perlakuin dia sebaik mungkin dan selalu berusaha gak ada suasana canggung diantara Gua sama dia."

"Tapi Jeavin? Akh! udahlah!"

Yuta kebingungan juga melihat Johnny yang frustasi.

"Biarin lah, John. Mungkin itu reaksi alaminya Jeno karena memang dia begitu sama Jeavin sebelum ada Lo. Lagian, hubungan mereka ya sewajarnya bapak sama anak, kan? Lo sendiri cerita tadi kalo Jeavin punya istri dan udah punya anak."

Johnny mengangguk lemah. Tapi dia benar-benar iri melihat sikap Jeno yang begitu ceria dan manis pada Jeavin. Berbeda sekali sikapnya saat Jeno dengannya.

Sisa hari itu, dihabiskan Johnny dengan keterdiamannya dan sifat workaholic nya mulai muncul lagi.

***

Jeno terdiam di kamarnya. Dia sudah pulang sedari pukul 7 malam tadi. Tapi Jeno tidak menemukan Johnny di rumah.

Awalnya Jeno mengira sebentar lagi Ayah nya pulang, tidak akan lewat dari jam lemburnya, yaitu jam 9 malam.

Tapi sampai jarum jam menunjukkan pukul 12 lebih. Ayahnya masih juga belum pulang.

Dia mengambil ponselnya dan menghubungi Jeavin.

"Halo, Ayah?"

"Hm? kenapa Jeno?"

"Em, Ayah Johnny belum pulang dari tadi, Jeno takut, Ayah kemana ya? kok gak pulang pulang?"

Terdengar kekehan lembut disana, "Coba kamu telfon Ayah Johnny dan tanya gitu ke dia, persis kayak apa yang tadi kamu tanyain ke Ayah."

"Jangan takut, Ayah jamin dia bakal langsung pulang habis Jeno tanya begitu."

"Oke? udah ya? Ayah mau istirahat. Habis Ayah Johnny pulang, kamu juga langsung istirahat. Besok kamu masih sekolah, loh."

Bip.

Jeno menggigit bibir bawahnya. Dia sedikit takut untuk melakukannya, walaupun dia sedari tadi benar-benar ingin menghubungi Johnny.

Jeno berdehem singkat sebelum dia mencoba menghubungi Ayahnya.

***

Di ruangan yang masih terang benderang, padahal ruangan lain sudah gelap gulita, suara keyboard laptop pun masih terdengar nyaring.

Johnny masih terduduk di tempatnya, dengan setumpuk berkas, laptop di depannya, tab di sebelah berkas dan bolpoin terselip di jarinya.

Sedari sore tadi Johnny bahkan tidak melirik jam sama sekali. Pandangannya seolah terkunci pada benda-benda kerjanya.

Ringtone handphone yang sedari tadi di sakunya berbunyi. Johnny mengangkat telpon tersebut tanpa melihat nama penelepon.

"Halo?"

"A, Ayah dimana? kenapa belum pulang.. Jeno sendirian, Ayah.. Pulang.."

Tubuh Johnny menegang sejenak mendengar suara Jeno yang terdengar sesekali terisak itu.

Detik berikutnya, segera dia menutup laptop dan tabnya, tidak perduli jika pekerjaannya belum tersimpan. Dia langsung berlari keluar ruangan.

"Maaf Jeno, tunggu Ayah."

Di sebrang sana Jeno langsung mematikan telepon setelah mendengar suara Ayahnya.

Dia mengusap air matanya dengan kasar. Dia kesal sekali karena menangis saat berbicara dengan Johnny.

Padahal tadi dia sama sekali tidak ingin menangis.

"Ah, malu-maluin aja sih?!" kesal Jeno masih mengusap air matanya yang juga tidak berhenti menetes.

Dan dalam waktu kurang dari 15 menit suara mobil Johnny terdengar memasuki halaman rumah.

"Ayah," gumam Jeno.

Masih dengan mata berair dan hidung ingusan karena menangis. Jeno duduk di kasurnya dalam keadaan kamar yang masih gelap, berharap Johnny datang ke kamarnya memeluk dan memenangkan nya.

Harapan Jeno pun terjadi, Johnny menerobos masuk kamar Jeno.

"Ayah," panggil Jeno.

Johnny menjatuhkan tas kerja dan jas nya begitu saja sebelum memeluk Jeno.

"Sstt, maaf ya. Ayah disini.." bisik Johnny saat merasakan bahu Jeno bergetar pelan.

Mereka saling memeluk dalam diam kecuali Jeno yang terisak lirih di pelukan Ayahnya.

Dia juga tidak mengerti kenapa hari ini dia begitu melow. Tapi Jeno tidak mau memikirkan hal itu dulu, saat ini dia ingin bersama Ayahnya.

Merasakan Jeno mulai membaik, Johnny menuntun tubuh Jeno untuk terbaring di kasurnya. Dan karena Jeno masih erat memeluk dan menyembunyikan wajahnya di dada Johnny, dengan senang hati Johnny bergabung merebah di sebelah Jeno sembari memeluknya.

"Maafin Ayah ya,"

Johnny merasa bersalah karena membuat Jeno menangis, padahal dia sendiri juga tidak terlalu tau mengapa Jeno menangis.

Tidak mungkin hanya karena dia yang pulang telat.

"Kenapa? Jeno sedih kenapa? Bilang sama Ayah."

Jeno menggeleng pelan di dada Johnny.

"Hm, it's okay. Sekarang tidur, besok Jeno masih harus berangkat. Nanti Ayah bangunin susah."

Jeno hanya diam, tapi Johnny anggap Jeno mengiyakannya.

Beberapa detik hening, Jeno mulai bersuara.

"Maafin Jeno, Ayah. Udah nakal dan banyak ngerepotin Ayah. Jangan tinggalin Jeno.."

"Jeno sayang Ayah." Lanjutnya dengan pelan sambil mengeratkan pelukan. 

Suara Jeno teredam memang, tapi keadaan hening membuat suara Jeno terdengar jelas oleh Johnny.

Johnny tersenyum senang mendengarnya. Dia balas memeluk Jeno dan berkali-kali mengecup dahi Jeno.

Inner ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang