08. Pecih putih

23 5 0
                                    

"Hal yang lebih, pasti ada
kekurangan dibaliknya.
Hal yang kurang, pasti ada
kelebihan juga dibaliknya."

—Aidan Azam El Faqih—

Happy reading...
.
.
.

"Vivy... Oi, bangun! Kamu kok tidur lagi habis sholat subuh?" Suara Nadhin melengking saat melihat Vivy yang tertidur dengan mukenah dan diatas sajadah. "Weh, bangun. Kita mau sekolah! Udah jam enam. Nanti kita telat, Murhaimin!"

"Euuungh! Apa sih? Hoaaaam."

Ide jahil terlintas di otak kecil Nadhin. Ia mengambil mukenah yang tadi telah di lipat dan memakainya. Lalu, Nadhin berjalan untuk mematikan lampu.

"Vivyan," lirihnya tepat di atas wajah Vivy. Lampu senter menyorot wajah Nadhin dan...

Plakk

"Astaghfirullah lailahailallah Allahu akbar. BANG KEMBAR!"

☆ ☆ ☆

"Udah dong ngambeknya. Kita kan berbestie." Bujuk Nadhin pada Vivy yang duduk di sampingnya.

"Mampus lo, Dhin. Vivy udah gak mau ngomong lagi ama lo. Nanti lo di musuhin sekelas, dan Vivy ngajak sirkelnya buat nge–bully lo." Nadhif yang duduk didepan disamping Nadhim yang sedang mengemudi mencoba membuat adiknya merasa bersalah dan takut.

"Diam lo! Yang ada, gue juga kali circlenya." Nadhin mentap tajam pada Nadhif. "Ntar aku traktir makan mau? Mau ya, mau dong. Oke, fiks."

"Apa sih?"

"Nanti gue traktir ye,"

"Hm."

"Yes! Kamu udah gak ngambek?" Nadhin memeluk erat Vivy.

"Iya! Udah lepasin ih, baju gue kusut lagi kalo lo kelamaan meluknya." Nadhin melepaskan secara terpaksa oleh Vivy.

"Cie, udah berbestie lagi." Celetuk Nadhif yang sedari tadi menyimak percakapan Nadhin dan Vivy.

"Ssttt. Lo diam! Dasar provokator."

"Heh! Nadhif lebih tua daripada kamu, Nadhin." Tegur Nadhim.

"Iya emang tua. Saking tuanya, sifatnya kembali ke kanak-kanakan." Ejek Nadhin sambil tersenyum smirk.

Nadhif yang tak terima melotot kan matanya, "heh manusia sok cantik dan sipaling muda. Lo siapa bilang gitu ke gue?!"

"Elo yang siapa? Gue sih anak dari pengusaha sukses dan terkaya di dunia, bapak yang terhormat, bapak Azhal Aafirudin Deandra." Nadhin mengepalkan tangannya dan menepuk dadanya sebagai kebanggaan yang tak terlupakan.

"O aja."

"Sok cool, aslinya banci!"

"Masa?"

"Iya emang."

"Emang iya?"

"Gak, lu bego." Gumam Nadhin.

"Apa?!" Nadhin terkejut saat Nadhif berteriak. "Wah parah, Dhim. Masa adek lo bilangin abangnya bego? Lo gak kasihan lihat kembaran lo dibilang bego? Secara kan kita kembar, apa-apa pasti sama, suka duka kita bagi. Kalo gue dibilang bego, sama halnya lo juga dibilang bego." Heboh Nadhif sambil mendramatis sambil mengompori Nadhim yang mengemudi.

Tiga AnagapesisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang