4

2 1 0
                                    

Kamu itu menganggu
Tadinya hariku abu-abu, lalu jadi biru setelah ada kamu

Kamu itu pencipta resah
Harus selalu tampak dimata
Karna kalau tidak, aku gelisah

—seseorang disuatu tempat

☆☆☆

"Waktu papa minta lo jadi jaksa, perasaan lo gimana, kak?"

Edria yang tengah menyusun buku-buku tugasnya kedalam tas berhenti sejenak sembari melirik Hanin dengan kernyitan dalam. Adiknya itu sudah bersiap dengan seragam lengkap, bahkan kaos kaki. Lalu tiba-tiba masuk kekamarnya dan bertanya yang tidak-tidak.

"Sekolah sana. Ngapain nanya-nanya begitu?" Edria mengabaikan.

"Cita-cita lo apa sih, kak?"

Kali ini gadis dua puluh empat tahun itu sepenuhnya berhenti dari kegiatannya. Bergerak menghampiri Hanin yang berbaring telentang dikasur.

"Kenapa? Papa nyuruh lo masuk hukum juga selesai sekolah?"

Hanin bergumam dengan mata terpejam. Edria berdecak samar, "Gak usah dengerin. Ambil jurusan yang lo mau, terserah papa mau gimana. Kalo papa gak mau biayain kuliah lo, gue yang bakal bayarin."

Hanin membuka mata, menelisik Edria yang berdiri menjulang dikakinya, "Cita-cita lo apa kak?" Desaknya.

"Ya Jadi jaksa lah! Gue mau ngehukum orang-orang yang bersalah dan bikin Indonesia damai. Puas lo?"

Hanin terkekeh mendengar jawaban itu. "Sungguh mulia," sindirnya. Lalu dia mendesah lirih, "Papa mau ngirim gue keluar negeri,"

"Papa gak tobat-tobat." Edria mengatupkan gigi, "Udah gue bilang gak usah dengerin. Lo mau jadi penulis, kan? Ambil sastra. Atau jurusan apalah yang bisa nunjang cita-cita lo, jangan peduliin papa."

"Seharusnya lo juga gitu." Hanin bangkit, "Jangan dengerin papa. Jadi dokter kayak yang dari dulu selalu lo omongin ke gue,"

"Cita-cita berubah, Nin." Balas Edria. "Gue mau jadi jaksa, dan itu pilihan gue."

"Trus kenapa lo berubah sebanyak ini?"

Edria menyipit mata, "Apa yang berubah dari gue?"

Hanin tak menjawab. Memilih berdiri lalu melangkah pergi meninggalkan Edria yang kebingungan.

"Harusnya lo tetep jadi dokter, kak. Harusnya lo juga gak perlu dengerin papa. Jadi gue masih bisa dengar cerita soal penyakit-penyakit aneh yang katanya gak ada obat itu."

Itu ucapan Hanin sebelum menutup pintu kamar Edria. Dia berpamitan pada kedua orang tua dan pergi kesekolah dengan langkah gontai.

Dikamarnya, Edria merenung. Dia tak pernah tau jika kekecewaannya pada diri sendiri juga berdampak pada sang adik. Mereka memang jarang berkomunikasi sejak dia melanjutkan pendidikan magister mengejar predikat jaksa.

Dokter.

Edria kecil memang punya cita-cita mengenakan jas putih kebanggaan itu. Namun setiap orang berubah. Ketika dewasa, dengan banyak pengalaman hidup, Edria tau tak semua cita-cita bisa terwujud meski punya banyak uang.

Dia kalah. Bahkan sebelum berjuang.

Bukan salah papa. Dia tau itu. Tapi Edria berharap Hanin tak senasib dengannya.

Hanin harus menjadi apa yang adiknya  inginkan. Meski itu artinya, dia melawan sang kepala keluarga.

***

MHS Series #1: Just Feel ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang