9

2 1 0
                                    

Kita akan selalu jatuh cinta
Pada siapapun yang berhak menerima

Kita akan selalu patah hati
Pada apapun yang mampu melukai

-seseorang disuatu tempat

☆☆☆

"Padahal tinggal bilang, kenapa malah ngilang."

"Gue bener-bener lupa, Nin. Maafin gue, maaaaf banget ..."

Kanzi lupa? Lucu sekali mendengarnya. Cowok itu sedang pacaran, pantas saja. Memangnya Hanin siapa?

Sekali lagi benar, Hanin bukan siapa-siapa.

Hanin menatap Kanzi dengan helaan napas berat. Dia kecewa, itu jelas. Tapi Hanin cukup memaklumi meski kalau bisa diberi nasehat, dia hanya ingin Kanzi lebih bertanggung jawab.

"Iya, Zi." Untuk kesekian kali, Hanin memberi maaf. "Gak papa kok, lagian gue juga baik-baik aja."

"Lo pulang sama siapa kemaren?"

Diga.

"Naik taksi. Kalo gak ada apa-apa lagi, gue duluan ya? Ditungguin Tea,"

Hanin bergegas pergi dari hadapan Kanzi. Mengabaikan tatapan tak terbaca cowok itu, juga Diga yang berpapasan dengannya.

"Lo apain?"

"Santai bro, gue cuma minta maaf."

"Oh."

"Lo jemput dia kemaren?"

"Hmm."

"Thanks ya,"

"Santai."

Ah, andai Hanin mendengar obrolan ini.

Bohong. Hanin berbohong. Dia tidak dicari Tea. Muftia sedang hectic-hectic nya menghadapi olimpiade terakhir sebelum lulus sekolah. Gadis itu akan sangat jarang terlihat hingga beberapa hari kedepan.

Hanin hanya, butuh waktu. Butuh ruang untuk sekedar memaklumi bahwa Kanzi memang tidak sengaja meninggalkannya. Mungkin cowok itu punya urusan penting, mungkin saja setelah dia pergi bersama Diga, Kanzi kembali menjemputnya tanpa ia ketahui.

Bisa saja, kan?

Namun dari sekian banyak kemungkinan itu, yang paling mungkin adalah Kanzi terlalu menikmati waktunya bersama sang pacar.

"Mau ngomong hal penting apa kemaren?"

Anj-!

Hanin kaget bukan kepalang. Untung saja dia hanya melatah didalam hati hingga imagenya masih terjaga dengan baik.

"Hmm?" Wajah tak bersalah Diga muncul didepan Hanin setelah tadi berbisik dibelakang kepala.

Hampir saja Hanin mengumpat kalau tak mengingati diri bahwa mereka sedang berada dikoridor kelas Diga.

"Lo tuh," Hanin mengatup bibir, "Bisa nggak gak usah ngagetin?" Dia bicara dengan gigi merapat.

Diga mengangkat satu alisnya. Heran bagaimana Hanin terkejut padahal jelas-jelas dia sudah mengikuti cewek itu sejak tadi.

"Jadi, mau ngomong apa kemaren?"

Ini maksudnya Diga apa sih?! Perasaan kemaren gak ngobrol yang gimana-gimana. Cuma nongkrong santai dikafe dengan jantung berdebar karna Hanin bolos. "Yang mana?"

"Soal Wulan." Suara Diga merendah.

Barulah Hanin terkenang. Dia memang belum sempat bicara apapun tentang penemuan Roy. Kemarin sebelum sempat mengobrol lebih lanjut, mereka justru berhadapan dengan moment tak terduga.

MHS Series #1: Just Feel ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang