Risauku kamu
Risaumu, mungkin diaAku terluka, tapi tidak apa-apa
Asal kamu tidak kemana-mana—seseorang disuatu tempat
☆☆☆
Nyatanya, mau bagaimana pun orang yang disuka menciptakan luka, kita tetap berusaha memaklumi. Terdengar bodoh memang, tapi begitulah adanya.
Hanin mati-matian mencari penjelasan saat Tea bertanya kenapa Kanzi meninggalkannya. Gadis itu, ntah bagaimana justru datang sebelum Hanin sempat memesan ojek untuk pulang.
"Gue bunuh Kanzi kalo ngajakin lo pulang bareng lagi." Katanya yang membuat Hanin bergidik saat terkenang.
Hari ini saja, dari pagi sampai istirahat jam kedua sekarang, Tea terus mengintilinya kemana-mana. Tak sedikit pun memberi ruang untuk Kanzi mendekat. Permintaan maaf Kanzi lewat surat, gadis itu sobek tanpa sempat Hanin baca.
Muftia Anggriani memang begitu menyeramkan saat marah.
Sudah hampir lima kali dia melirik Tea dan Awin bergantian. Posisinya diapit kedua orang itu—atas perintah Tea dan Awin nurut aja— hingga Hanin kewalahan saat berjalan. Hanin sampai menggigit bibir menahan jengkel.
Tiba dilantai bawah, Hanin mendadak melihat celah.
"Lo berdua duluan, gue ketoilet bentar."
Meninggalkan Awin dan Tea yang tak sempat menahan untuk sekedar bertanya, Hanin melesat secepat kilat mengejar seseorang kelorong perpustakaan. Bernapas lega sebelum kembali fokus pada sosok didepannya. Pijakannya memelan saat jarak mereka sudah terhitung dekat.
Beberapa kali dia merutuki langkah kakinya yang terlalu berisik. Padahal Hanin sudah berusaha mengatur ritmenya sepelan mungkin. Karna hal itu, hampir saja cowok jangkung yang melangkah tenang beberapa meter didepan nya menoleh kebelakang dan dia tertangkap basah.Celaka kalau begitu. Bisa malu gak ketulungan dia kalau ketahuan.
Dan memang nasib Hanin se–celaka itu. Karna kini, Diga tanpa aba-aba berbalik menatapnya dengan sorot, 'kena lo!'
"Hehe," Hanin tak tau harus bereaksi apa selain itu. Menggaruk pipi mulusnya, seraya tersenyum tak enak ke arah Diga didepan sana. Cowok itu tidak beranjak, hanya diam seolah menunggu Hanin bergerak.
Hanin mengalah. Melangkah menuju Diga dengan wajah memerah.
"Ekhem!" Dia mengatur suara. "Gue ... gak ngikutin lo kok."
Alis Diga naik makin tinggi.
"Beneran." Hanin meyakinkan. Ya walaupun percuma juga. Sebego-begonya Diga, pasti tau jika Hanin memang mengikuti cowok itu dari koridor perpustakaan sampai gedung olahraga. "Gue—"
Drrt! Drrrt!
Suara Hanin terhenti. Getaran ponsel itu cukup kuat untuk menciptakan bunyi. Menatap Diga yang juga menatapnya, Hanin memberi gelengan sebagai jawaban. "Bukan hape gue." Katanya.
Diga mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Menampakkan layar gelap yang pastinya juga bukan dari ponsel cowok itu.
Getaran ponsel itu masih terdengar. Hanin memasang telinga baik-baik mencari asal sumber suara. "Disana tuh," Tunjuknya pada deretan pot-pot besar ditepi selokan. Didorongnya tubuh Diga tanpa rasa bersalah menyuruh cowok itu untuk memeriksa.
Diga tak protes. Cowok itu bergerak perlahan mengikuti arahan Hanin. Dan benar saja. Benda pipih berwarna putih tergelatak mengenaskan nyaris jatuh keselokan dengan layar retak, menyala menampilkan deretan nomor sebagai pemanggil.
KAMU SEDANG MEMBACA
MHS Series #1: Just Feel It
Teen Fiction2023 "Gue gak capek. Karna emang, selama ini gak ngarepin apa-apa." "Padahal tinggal bilang, kenapa malah ngilang." "Harusnya gue gak confess waktu itu." "Makasih, ya. Gue pamit," "Ajarin gue jatuh cinta, bisa?" ◇◇◇ "Don't asking, just feel it." ◇◇◇...