7

2 1 0
                                    


☆☆

Bagi Hanin, Kanzi itu matahari. Cerah, bersinar terang, dan tentu saja hangat. Selayakya mentari, Hanin menjadikan Kanzi patokan suasana hari yang ia lalui. Jika ada Kanzi, harinya berwarna. Jika Kanzi tak ada, maka mendung menyapa.

Seperti hari ini.

Padahal Hanin sudah mencoba tidak peduli, tapi tetap saja dia kepikiran. Seperti kata Tea, dia harus belajar membiasakan diri tanpa mengingat Kanzi meski sebentar.

Tapi, gak semudah itu woi!!

"Dicariin Diga, Nin. Hayo loh! Ngapain lo berdua kemaren ha?!"

Hanin yang tengah menelungkup wajah suramnya mendongak lemah dengan mata sayu. Ada Awin yang kini mengangkat alis menggoda.

"Seriusan Diga nyariin Hanin? Gila! Baru beberapa hari lalu perasaan gue comblangin!"

"Gercep juga si Diga. Gak sia-sia gue rekomendasiin Hanin, jangan lupa peje ya Nin!"

"Diga gak mau kalah langkah makanya ambil start awal,"

Langkah ogah-ogahan Hanin nyatanya tak membuat suara-suara berisik itu surut. Hari ini suasana hati Hanin mendung, dan pemuda jangkung yang bersandar tegap ditiang depan pintu kelas itu jelas menambah pekat warnanya.

"Ngapain?" Tembak Hanin tanpa basa-basi. Dia mengambil jarak tiga langkah dari posisi Diga. Menatap berani cowok itu yang juga memindainya.

"Udah makan?" Pertanyaan tak terduga dari Diga cukup berhasil membuat Hanin tercekat.

Meski begitu, anggukan lemah dia berikan sebagai jawaban. Lagian ngapain sih Diga nanya begituan? Kayak pacar aja!

"Pucet banget." Katanya lagi.

"Lupa bawa lip balm," Anehnya, Hanin membalas kooperatif. "Ada apa sih, Ga? Tumben banget nyariin, bikin salah paham aja."

"Tentang yang kemaren," Suara Diga menggantung sejenak, "Lo udah cerita ke orang lain?"

Hanin menggeleng tak mengerti. "Belum," ujarnya. Rencananya dia mau cerita ke Kanzi sebagai topik perbualan chat-an tadi malam, tapi Kanzi justru sibuk rapat osis bersama Tea yang juga menjadi alasan cowok itu tidak hadir hari ini.

"Jangan cerita ke siapa-siapa." Diga sudah tak sesantai tadi. Tangannya yang semula tersembunyi disaku celana kini terbebas. Cowok itu berdiri tegap dengan netra menghunus serius pertanda tak main-main.

Hanin mendadak gugup, "Ke-kenapa?"

Diga tak segera memberi jawaban. Cowok itu justru meraih jemari Hanin membawanya menjauh dari ruang kelas. Hanin jelas memberontak. Selain karna rasanya ia seperti diculik-meski kalo beneran iya, seganteng Diga mah gak papa-, dia juga tak nyaman dipandangi dengan dahi berkerut oleh beberapa orang yang mengenali mereka.

"Ga! Apaan sih?!"

Hanin berhasil menarik tangannya dan berhenti melangkah. Disamping gedung olahraga tak jauh dari tempat kemarin mereka menemukan ponsel Wulan.

Diga membawa tubuh Hanin merapat kedinding. Gelagat cowok itu seperti tengah mengajak Hanin bersembunyi ntah dari apa.

"Sssst!" Peringat Diga ketika Hanin hendak membuka mulut. Cowok itu mengarahkan kepala Hanin pada interaksi dua sosok yang cukup Hanin kenali. Sekali lagi, Hanin menatap Diga meminta penjelasan.

Ngapain sih, Diga gabut banget ngajakin dia ngintip perbualan dua security itu? Gila kali ya!

Lama Hanin memperhatikan orang dewasa itu. Dua satpam sekolah sibuk mengais selokan dan pot-pot bunga besar tepat dilokasi ponsel Wulan ditemukan.

MHS Series #1: Just Feel ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang