Aku mengingat sesekali
Mengenang hal-hal kecil tentang kita yang tak pernah luruh dari ingatanAku melihatmu hari ini
Untuk kemudian menyadari bahwa kamu bukan lagi seseorang yang ingin aku temukanSeseorang disuatu tempat
☆☆☆
"Papa gak bisa maksa Hanin ngikutin kemauannya papa, Hanin punya cita-cita sendiri pa! Dan itu bukan jadi pengacara,"
"Papa tau mana yang terbaik untuk anak-anak papa, sama seperti yang papa lakukan untuk kamu."
"Aku beda! Aku gagal! Hanin nggak. Dia belum nyoba, jadi tolong kasi dia kesempatan paling nggak sampai dia menyerah sendiri."
"Papa gak mau anak papa gagal, Edriani. Kamu, Hanin, harus sukses. Harus jadi orang,"
"Tapi dengan memaksakan keinginan papa, Hanin gak bakal jadi orang, pa. Papa mau kehilangan anak lagi? Apa gak cukup dengan aku pergi?"
"Dimana letaknya kesalahan papa sampai kamu begini, Edria? Pernah papa menentang keinginan kamu? Pernah papa memaksa kamu menjadi jaksa? Papa membiarkan kamu menentukan masa depan. Kamu mau jadi dokter, papa biayai semuanya. Tapi kamu yang gagal membuktikan ke papa kalau kamu mampu menjadi dokter, papa dorong kamu mempelajari hukum bukan karna papa menghukum kamu, papa cuma gak mau kamu kecewa dengan kegagalan kamu. Papa ingin membuat kamu paham bahwa kegagalan kamu hari itu, tidak bisa jadi alasan kamu gagal juga dimasa depan. Dan papa nggak mau Hanin mengalami hal yang sama. Kalau ujung-ujungnya gagal dengan pilihan sendiri, kenapa meragukan pilihan orang tua?"
"Pa ... Hanin belum lulus sekolah. Kasi dia waktu menata masa depan sendiri. Kalaupun dia harus gagal kayak Edria, Edria sendiri yang akan mastiin dia nyoba lagi sampai dia berhasil jadi apa yang dia mau. Bukan menyerah dikegagalan pertama kayak yang Edria lakuin,"
"Baik. Papa ikuti mau kamu. Pastikan adik kamu jadi seperti apa yang dia mau. Jangan biarkan dia gagal,"
"Pasti. Edria janji sama papa,"
Rasanya, Hanin ingin menenggelamkan tubuhnya didalam dinding. Dia berdiri disana, mendengarkan pembicaraan papa dan kakaknya dari awal hingga akhir. Dengan jantung berdegup kencang, Hanin takut sekali membayangkan bagaimana dia akan merasa kecewa pada papa.
Tapi apa yang Hanin dengar merubah semuanya. Tak sekalipun Papa berusaha mengecewakan anak-anaknya. Tak sekalipun Papa berusaha memadamkan mimpi Edria atau Hanin.
Kakaknya gagal. Dan Papa mencemaskan Hanin merasakan hal yang sama. Itu sebabnya Papa merencanakan masa depan Hanin sejak lama.
Kelopak mata Hanin memanas. Dengan gigi bergemelatuk, dia berusaha menahan keinginan untuk menangis haru. Jahat sekali rasanya mengingat Hanin berpikiran buruk tentang Papa.
Hanin mengangkat wajahnya keatas. Dia anti sekali menjadi cengeng. Namun saat tatapannya bertemu langit-langit ruang keluarga yang bercat hitam putih seperti papan catur, pada akhirnya lelehan bening itu keluar juga.
"Jangan nangis," Hanin mengipasi wajahnya yang memerah. Memilih pergi dari sana jika tak ingin berlarut dalam tangisan.
Dia lega, disaat bersamaan sakit juga.
Andai, andai ...
Hanin bahkan tak sanggup lagi berandai-andai.
Lama, dia menerawang menembus jendela kaca besar dikamar. Mengingat kejadian beberapa hari ini, berusaha mengalihkan pikiran yang kadang sulit diajak kerja sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
MHS Series #1: Just Feel It
Teen Fiction2023 "Gue gak capek. Karna emang, selama ini gak ngarepin apa-apa." "Padahal tinggal bilang, kenapa malah ngilang." "Harusnya gue gak confess waktu itu." "Makasih, ya. Gue pamit," "Ajarin gue jatuh cinta, bisa?" ◇◇◇ "Don't asking, just feel it." ◇◇◇...