19

2 1 0
                                    


It hurts, but she's still fell in love

-seseorang disuatu tempat

☆☆☆

"Gue mau ngomong sama Diga."

Hanin menyadari tatapan dari penghuni kelas Diga saat dia datang. Meski gugup, namun tekadnya untuk menyelesaikan apa-apa yang pernah melibatkan dia dan Diga cukup membuatnya menegaskan langkah.

Satu persatu dari sekian siswa yang tadinya sibuk beraktivitas didalam kelas memilih akur. Perang dingin antara Hanin dan Diga sudah jadi rahasia umum seperti halnya kedekatan mereka sebelumnya. Sementara Diga, ntah memang memahami maksud Hanin, atau justru tak peduli, memilih tetap diam ditempatnya dengan earphone terpasang ditelinga. Cowok itu sempat menatap Hanin sekilas sebelum memejam damai.

Hanin melangkah pasti menuju Diga. Jam masuk masih sekitar lima belas menit lagi, jadi Hanin tau dia tak punya banyak waktu.

Tangannya terulur, "Gue mau hape Wulan."

Diga, yang sepertinya tak mendengarkan apa-apa dibalik earphonenya lantas mengernyit tanpa suara.

"Lo tuli? Gue mau hape Wulan. Yang waktu itu kita temuin bareng-bareng. Yang-kata-lo gak ada apapun didalamnya, padahal jelas-jelas diincar sama dua satpam sekolah kita. yang dengan bodohnya gue percaya dan diem aja."

"Kasusnya udah ditutup." Balas Diga acuh tak acuh.

"Gue gak peduli. Gue mau hape itu paling nggak besok. Lengkap dengan isinya tanpa dikurangi sedikitpun. Itupun kalo lo berani,"

"Hanindy Adriana,"

"Kenapa?" Hanin yang tadinya berjarak sekitar tiga langkah dari meja Diga, merapat berani. "Lo takut? Takut aib Wulan kebongkar, atau takut aib lo kebongkar?"

Dahi Diga berlipat makin dalam.

"Well, gue ngerti kok. Ponsel itu privasi dan gak etis kalo orang luar kayak gue tau isinya. Tapi, menurut gue yang kemungkinan besar bakal jadi pengacara dimasa depan, sesuatu yang melanggar hukum harus punya konsekuensi. Mau kasusnya udah ditutup walaupun dengan segala kejanggalan yang gak bisa diterima akal sehat gue, gue tetap ngerasa punya tanggung jawab buat ngusut kasus ini sampe tuntas." Hanin menghela napas sejenak, "Seenggaknya gue harus tau, sebrengsek apa cowok yang pernah deket sama gue."

Diga berdiri, cowok itu sepertinya tersulut terbukti dengan kepalan tangannya yang  tersimpan disamping tubuh.

"Oke, karna hari ini lo gak mungkin bawa, gue tunggu besok." Hanin mundur, "Meskipun gue sebenarnya males juga, tapi gue berharap lo mau kerja sama gue untuk yang pertama dan terakhir kalinya."

"Gak ada apa-apa disana." Diga akhirnya buka suara. "Jadi berhenti bahas ini lagi, Hanin."

Hanin yang tadinya sudah balik badan, kembali menghadap cowok itu, "Kenapa? Karna dia pacar lo? Karna dihape itu, ada sesuatu yang gak seharusnya gue liat? Iya?!"

Diga berusaha mengatur napas. Kakinya bergerak menuju Hanin sebelum akhirnya berhenti karena Hanin memilih mundur menjauh.

"Jawab gue, Ga! Kenapa gue harus berhenti dan diem aja sementara gue tau ada yang janggal dikasus ini?!"

"Iya, Hanin! Iya." Diga hampir meninggikan suara, "Karna Wulan pacar gue! karna dia baru aja sembuh dari trauma dan berusaha lupain semuanya!"

Memang ini yang Hanin cari. Memang pengakuan ini yang ingin Hanin dengar. Tapi kenapa setelah mendengarnya, Hanin justru tergagu. Sekuat tenaga berusaha meraup napas yang sejenak raib setelah mendengar kalimat itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MHS Series #1: Just Feel ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang