17

1 1 0
                                    

Pada akhirnya, kita bukan apa-apa

—Seseorang disuatu tempat

Bab ini ada surprisenya☺

☆☆☆


Hanin menyadari bahwa hidup melalui berbagai macam fase.

Bahagia, kehilangan, kecewa, suka cita dan kesedihan. Semua fase itu berulang dengan tahap rasa yang berbeda.

Hanin pernah bahagia sekali waktu kecil. Menikmati peran sebagai anak bungsu yang berlimpah kasih sayang. Lalu dia kehilangan. Sedihnya pekat sekali waktu itu. Meski baru berumur delapan tahun, Hanin rasa dia seperti sudah memahami bahwa sakitnya kehilangan seperti orang dewasa.

Kemudian, dia mengenal rasa kecewa. Pada Kanzi yang mendapat predikat pertama sebagai seseorang yang Hanin sukai sedalam yang dia bisa. Cowok itu, punya tempat tersendiri dihidup Hanin meski sosoknya biasa saja. Jadi Hanin tak bisa membencinya meski ingin.

Kini, Hanin rasa dia kembali jatuh suka.

Digantara Rahagi. Sebaris nama yang beken dengan panggilan Diga. Seorang pemuda yang latar belakangnya belum begitu Hanin kenali tapi dia justru tutup mata.

Yang penting Hanin suka. Begitu prinsipnya.

Saat melihat Diga turun kelapangan mendribel bola untuk pertama kalinya, Hanin berhasil menyimpulkan kerumitan perasaan yang ia rasa akhir-akhir ini.

Perasaannya sudah berubah. Ntah sudah ditahap mana, yang pasti Kanzi bukan lagi seseorang yang dia prioritas kan lagi. Hanin sudah bisa membedakan kepada siapa dia harus menaruh perhatian juga simpati.

Diga. Yang sekarang sedang bersimbah keringat tampak serius memutar lapangan basket mengecoh pergerakan lawan.

Diga. Yang ntah memang kebetulan atau disengaja, mengalihkan fokusnya sejenak menatap Hanin dengan satu alis terangkat dan sudut bibir naik meski tipis. Cowok itu menemukan keberadaan Hanin diantara ratusan penonton disana.

Hanin menyentuh dadanya. Debaran samar yang perlahan berubah menjadi detak kencang namun nyaman.

Apa ini, yang sebenarnya dinamakan jatuh cinta?

Rasa ini jelas berbeda dengan yang Hanin rasakan pada Kanzi. Iramanya berbeda, perasaan penuh serta euforia didadanya begitu asing namun menarik.

Hingga pertandingan usai, Hanin masih setia terpaku pada sosok Diga. Tim mereka menang, telak dengan selisih skor jauh. Kanzi menjadi man of the match yang mencetak hampir separuh skor dengan skillnya yang diatas rata-rata.

Well ya, kalau urusan basket Kanzi memang jagonya.

Hanin ditarik Tea dan Awin untuk turun dari tribun. Menghampiri tim mereka, dan yang pasti menghampiri Diga.

"Nin!" Kanzi mengkode Hanin untuk menghampirinya yang sedang bersama Naya.

Hanin mendengkus. Kanzi ini emang kadang gak ada peka-pekanya. Ntah apa maksud cowok itu kembali mempertemukan Hanin dengan Naya.

Tapi demi kenyamanan bersama—supaya Naya tidak berpikir Hanin belum move on—, Hanin mengangguk dengan senyum paksa menuju kearah dua sejoli itu.

"Gak perlu," Diga mencekal langkah Hanin, membawa kesisi lapangan yang lain. Cowok itu tampak tak peduli meski diujung sana, Kanzi bersungut tak terima.

"Kenapa?" Tanya Hanin. Cemburu, ya? Hanin menahan senyum.

Menatap cewek itu lama, Diga menghela napas sebelum memberi jawaban mengesalkan. "Nanti nangis lagi," katanya.

MHS Series #1: Just Feel ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang