17. Sumber Kecewa Itu, Manusia.

743 114 11
                                    

Note : Cerita ini mengandung kekerasan, tindakan tidak terpuji, dan beberapa kata kasar, mohon bijak dalam membaca.

Don't Plagiat. Don't forget for vote and comment.

.

(Sorry for typo's)

.

Enjoy and Happy Reading.
_


*Setelah Kehilangan

Rendi menatap datar mobil mewah miliknya. Sudah berapa lama ya ia menyimpan mobil hitam mewah ini? Eum, bertahun-tahun.

Ia pandangi kolom pesan antara dirinya dengan Aji, “Kayaknya, sekarang waktu yang tepat.” ucapnya sembari mengetikan pesan pada Aji bahwa lima menit lagi ia sampai di depan Alfamart dekat Dream House.

Tempat pertama ia dan Aji menjalin pertemanan. Tempat pertama ia membawa mobil merah kesayangannya dan mengantar Aji pulang. Tempat yang sebentar lagi menjadi saksi bisu fakta yang tak dapat Rendi tutupi lagi.

Perjalanan terasa cepat, ya, lima menit pas ia tempuh sampai bisa turun dari mobilnya, ia pandang Aji yang masih menunduk memperhatikan ponselnya, sekilas ia lihat, lagi-lagi Aji memandangi foto-foto almarhum sang kakak kelima, Hanif.

“Maaf.” kata pertama yang ia ucapkan, kata yang membuat Aji mendongak, menatapnya sedikit malas, “Aman, lo nggak telat-telat banget k-” netra Aji melebar seperkian detik, kursi duduk yang tersedia di depan Alfamart itu tergeser, menimbulkan bunyi nyaring dari gesekan besi dengan lantai.

“Bohong.” Aji berucap datar pada sang sahabat, ponselnya teremat kuat.

Rendi bergeming, tak bereaksi apapun. Aji mendekat dan menarik paksa lengan sahabatnya, tidak mungkin kan? Pikirnya.

Tak sadar, keduanya diam, cukup lama, sampai Rendi memilih menjalankan mobil itu menuju Dream House.

Pada gang masuk, ia lajukan mobil itu kencang, dan ia injak rem tepat di depan pintu Dream House, persis seperti adegan yang ada di rekaman milik Aji, rekaman bagaimana mobil asing ini ada saat hari dimana Hanif terluka.

“Gue mau nunjukin mobil ini ke lo, ke A' Hanif, hari itu gue mau ajak kalian berdua jalan-jalan, cuma kita bertiga.” Rendi membuka suara, dan Aji masih diam, entah mendengarkan penjelasan, atau memproses suatu kemungkinan.

“Gue-” Rendi menunduk dengan tangan bergetar hebat, “Gue mau bilang makasih ke dia, karena udah bikin gue sadar, kalau lo sosok yang pantes buat dijadiin temen, dan gue adalah manusia yang terlalu besar kepala, besar juga egoisnya.” lanjutnya, kali ini dengan suara tercekat, matanya seolah menerawang jauh pada suatu kejadian.

“Hari itu, gue gas mobil ini sekencang-kencangnya, gue exited, sama kayak hari-hari dimana gue bisa main kesini, ngerasain hangatnya rumah ini.” Rendi meremat kuat stir mobilnya, “Tapi Ji, hari itu gue nabrak Aa'.”

Aji meloloskan berbait-bait air mata, apakah selama ini usahanya sia-sia? Apakah selama ini ia salah duga? Selama ini, bukan saudaranya yang lain yang telah merenggut nyawa Hanif?

Selama ini ia menjadi detective, demi mengungkap kematian Hanif, dan ternyata ia dibantu oleh pelaku itu sendiri?

Apakah, Aji sudah sangat salah langkah?

“Hari itu, harusnya kita bertiga jalan-jalan, pulang sambil bawa kado buat A' Naren lo. Tapi-” isakan keras terdengar, “A' Hanif jatuh Ji, dia jatuh dari atas dan tepat kenak mobil gue.”

Aji memejam erat, kali ini ia kunci mobil sahabatnya, ia tarik kemeja mahal beraroma wangi itu dengan keras, bahkan Rendi sampai tersentak saking kerasnya.

Tak menunggu lama, bogeman, umpatan, juga tangisan terdengar nyaring. Mobil hitam itu bergoyang kencang, menandakan hebatnya perlakuan Aji pada Rendi.

“Bang-sat!” dua bogeman jatuh pada mata Rendi, sang empu pun tak berniat melawan, hanya diam dan menerima resiko yang sudah ia tunda sejak lama.

Rasa penyesalan yang selama ini ia tahan akhirnya meluap juga, akhirnya, ia merasakan apa yang seharusnya ia dapatkan atas perilaku pengecutnya, seharusnya dulu Rendi membawa Hanif, kan?

Bukannya malah takut dan melenggang pergi tanpa hati.

“Gue benci sama lo!”

‘Iya, benci gue Ji, benci gue sepuas lo.’

“BALIKIN AA' GUE SIALAN!” Aji mengoyangkan kencang kerah Rendi yang sudah tak berbentuk, sama seperti wajahnya, tidak, lebih tepatnya berantakan seluruh tubuhnya, beserta hatinya.

“Gue udah sedikit nebus semuanya, maafin gue Ji, maafin gue.” Tangisan Rendi keras sekali, sampai-sampai jendral yang sedari tadi ada di depan pintu hanya memandang datar mobil itu.

“Gue anterin lo jadi detective, gue udah siap di hukum, dan lo harus cari siapa yang dorong Aa' dari sana.” Rendi sesegukan, sembari menunjuk balkon kamar Jendral juga Malik yang ada di lantai dua.

“Sum-pah, gue ngga-k bohong, hari i-tu, jatuh!” susah payah ia ucapkan, sebab selain tangisan, nafasnya terasa tercekik, tangan Aji terlalu kuat meremat ujung kemejanya.

Pintu mobil itu akhirnya terbuka kasar, ia biarkan Rendi disana, entah keyakinan darimana, Aji percaya Rendi Wesedang langkah Aji tegas, menuju Jendral yang masih diam disana.

“ABANG!” Aji berteriak kencang tepat di depan Jendral, kakak ketiga, yang dahulu ia yakini sosok pengasih, sosok yang paling memanjakan Hanif dan Naren.

“BUKAN ABANG, KAN?!” Deraian deras liquid bening itu masih tercurah, kali ini tak hanya ada pada wajah Aji, namun juga Jendral.

Aji menepuk dada kirinya kencang, “Bilang Bang...” ucapnya sesegukan, “Bilang kalau bukan Abang, kan?” tanyanya, lagi.

Jendral memeluk Aji lemah, kepalanya mengangguk samar, membuat Aji menangis keras sembari meremat punggung belakang Jendral kuat, “JAHAT!”

“SEMUA ORANG JAHAT SAMA ADEK! ANJ*NG!” dahulu Jendral akan membungkam mulut itu jika berkata kasar, namun kali ini ia biarkan.

Aji, manusia itu sumber kekecewaan, kan?
Maaf ya, semesta cara bekerjanya memang selucu itu.

To be continued
.
.
.

Ey, ey, how about this chapter guys?
Ramein ya komentarnya.
.

Anw, ini bukan final chapter, belum kebuka semua kejadiannya, tapi, sejauh ini kira-kira siapa yang bener? Siapa pelakunya? Masak Hanif bundir?
.

Bonchap Sorai sama Bonchap Cemara Punya Asa, mau yang mana?
.

Dah, gitu dulu,
See u on next chapter love

25 Februari 2024.

How He Died?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang