Note : Cerita ini menggandung kekerasan, tindakan tidak terpuji, dan beberapa kata kasar, mohon bijak dalam membaca.
Don't Plagiat. Don't forget for vote and comment..
Enjoy and Happy Reading.
_
Jika saja, ada yang bertanya, bagaimana hidup menjadi yang pertama, apakah merasa lega karena dapat melihat adik-adiknya tumbuh dewasa? Apakah menyenangkan karena merasa menjadi yang paling dewasa dan merasa berkuasa? Atau justru, merasa tertekan sebab merasa memegang tanggung jawab yang tak sebagaimana mestinya.Malik, kala itu ia pernah ke kota, menjadi sosok yang pertama mendatangi kota diantara ke-enam adik-adiknya, ia menerima tawaran Pak Mamat guna ikut mengantar pesanan kayu dari sebuah restoran besar bernuansa ‘asri pedesaan’.
Kala itu, untuk pertama kalinya ia menaiki sebuah kendaraan besar panjang, sebuah bus merah dengan banyak stiker juga tulisan di kacanya. Dalam keramaian yang ada, Malik kecil kala itu berfokus pada seorang remaja perempuan didepannya, bukan, bukan ia menaruh kagum pada sosok perempuan berseragam putih abu itu, namun ia memandang takjub layar ponsel yang menampilkan banyaknya komentar dari sebuah postingan.
Beberapa kata pada kolom komentar yang dapat Malik ingat adalah,
‘Anak pertama itu percobaan gak sih?’ ‘Enak sih jadi kakak, bisa nyuruh-nyuruh adek jadi babu’
‘Jadi kakak susah, banyak bebann’
‘Enak jadi sulung, ngerasain masa jaya-jayanya orang tuaa’Kalau boleh Malik jelaskan, rasanya memang hampir sama seperti yang mereka tuliskan disana, rasanya terkadang senang, tapi Malik tidak pernah berpikir ia senang sebab memiliki adik sebagai ‘babu’, ia hanya senang kala melihat adiknya bahagia, bahkan jika hanya melihat mereka tertawa sebab beberapa hal sederhana.
Tapi ada waktunya, atau jika boleh dibilang, hampir setiap saat, Malik merasa memiliki kendali atas takdir mereka. Seperti ia harus menjadi sosok ayah yang siap dijadikan temeng oleh adik-adiknya, atau menjadi sosok ibu yang siap mendengar keluh kesah mereka.
Tanggung jawab besar, pengorbanan besar, harapan yang besar, dan kenangan yang kian meluas terukir penuh makna hingga sekarang, hingga ia, mereka semua, sudah menjadi besar.
Hah.., entah hanya Malik atau seluruh kakak di dunia ini yang merasakan, tapi Malik bahagia memiliki adik, ia senang walau harus kehilangan dua sosok terpenting dalam setiap hidup seorang anak.
Ada kalanya, ia ingin menyerah, namun terbesit selalu dalam benaknya, akan senyuman, candaan, juga tangisan adik-adiknya. Ia selalu, dan selalu memiliki setidaknya seribu alasan untuk berhenti berjuang, namun adik-adiknya akan selalu memiliki satu alasan kuat tanpa bantahan untuk memaksanya bertahan.
Malik, sulung yang akan selalu bersyukur walau di gores kejam oleh semesta yang tak selalu mendukung.
...
“YEY, AJI LULUS!!” jika teman-teman Aji tak percaya kan kata, ‘angkatan kalian tidak semua bisa lulus 100%’, maka Aji menjadi satu-satunya siswa yang berpikir berlebihan, bahkan mengkhawatirkan dirinya perihal kelulusan ini.
Ah, ayolah Ji ...
Tapi tak mengapa, sebab rasa kekhawatiran tadi membuahkan hasil masil dari kerja keras belajarnya Aji, juga Candra tentunya.
“Selamat adek nya Aa', nanti pulang dari sini, Aa' Naren traktir es ya” ucap Hanif kalem, walau mendapat respon tak kalem dari kembarannya, Naren.
“Astagfirullah, kok aku?!”
“Kan, kamu yang baru gajian, kalo aku sih baru dikasih tiga hari lagi, nah ini adek lulusnya hari ini, masa traktirannya nunggu besok-besok??” Hanif bertanya santai, seolah keputusan sepihaknya adalah ide bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
How He Died?
Teen FictionDeskripsi : Bagaimana bisa, diantara ke-enam saudaranya, ada kemungkinan tindakan kriminal yang mereka lakukan. Aji, bungsu yang sangat-sangat mencintai hujan, bahkan menjadikan momen hujan sebagai masa favorite-nya. Namun, siapa sangka, kini kebenc...