Note : Cerita ini menggandung kekerasan, tindakan tidak terpuji, dan beberapa kata kasar, mohon bijak dalam membaca.
Don't Plagiat. Don't forget for vote and comment.
.
(Sorry for typo's)
.
Enjoy and Happy Reading.
_
*Sebelum Kehilangan“Please banget ini Bang, sekaliii ajaaa.” Naren mengandeng kuat lengan Jendral yang memandangnya kesal.
“Nggak Na, Abang bilang nggak, ya nggak.” Tolak tegas Jendral pada permintaan sang adik pertama.
Bukan apa, tapi bagaimana caranya ia mendapatkan ikan cupang pada danau luas di depannya? Naren ingin melenyapkan Jendral ya sepertinya?
“Ya udah, beli bakso aja yok!” ajak Naren dengan wajah cemberut, sembari tangannya menunjuk gerobak bakso yang ada di depan mereka.
Jendral diam sejenak dan meraba celananya tanpa Naren ketahui, takut-takut dompetnya tidak terbawa, sedang Naren kembali berucap karena Jendral masih diam, “Aku traktir Bang!”
“Nggak usah,” tolak Jendral setelah yakin bahwa ia membawa dompet, “Kenapa? Abang nggak mau makan bareng Nana? Mau pulang aja? Padahal Nana udah mau nraktir Abang! Jangan remehin uang Nana ya, Nana punya banyak uang tau.” Naren berkata kesal, mengira bahwa Jendral menolak sebab akan mengajaknya pulang dan tidak mau makan bersamanya.
“Bukan gitu, uangnya kamu simpen aja. Hidup kita emang membaik, tapi kita harus tahu batas Na,” Jendral memandang Naren, “Indahnya belum tentu selalu ada, senang kek gini juga cuma sementara.”
“Tetep sederhanain diri, karena hidup kita masing-masing masih panjang. Abang gini bukan karena nggak mau tanggung jawab atas hidup adek-adeknya Abang, apalagi kamu. Cuma kamu harus inget dek, kalau hidup nggak cuma seneng-seneng, nyari keindahan dan mati dengan tenang, nggak. Semua nggak sesimple itu.”
“Ya udah, ini berati Nana yang di traktir kan?” Jendral menghela nafas, sepertinya ia terjebak oleh kecohan Naren, ”Iyaa.” jawab Jendral pada akhirnya.
“Yes! Kita beli bakso sama es teh dulu ya Bang, abis itu beliin ikan cupang.”
“Udah hampir malem Na.” ucap Jendral tak habis pikir dengan adiknya, serius.
“Nggak papa, kalo kata Mas Rei, coba dicari dulu baru bilang nggak ada.” jawab Naren sembari berjalan menuju bakso di depan sana, meninggalkan Jendral yang tersenyum pasrah mengelus dada.
“Nggak papa deh, itung-itung brother time bareng Naren.”
•••
“Ih, keren banget adeknya Aa'.” Hanif memuji sembari meletakan lauk pada piring Candra.
“Iyaa dong, pokoknya nanti pas tampil adek suruh temen adek rekam, biar rekamannya bisa adek kirim ke Aa' ya!” Candra berucap antusias, membuat senyuman saudara-saudaranya terbit disana, “Iyaa.” jawab Hanif.
“Kenapa nggak nyanyi langsung aja sih Kak? Emang belum hapal liriknya ya?” Aji memprotes, sepertinya cemburu nih bocah, terbukti dari panggilannya pada Candra yang menggunakan embel-embel ‘Kak’.
“Nggak ada musiknya.”
“Kan ada Mas Malik, apa gunanya Mas jago gitar kalo ga di manfaatin.” jawab Aji ketus.
KAMU SEDANG MEMBACA
How He Died?
Ficção AdolescenteDeskripsi : Bagaimana bisa, diantara ke-enam saudaranya, ada kemungkinan tindakan kriminal yang mereka lakukan. Aji, bungsu yang sangat-sangat mencintai hujan, bahkan menjadikan momen hujan sebagai masa favorite-nya. Namun, siapa sangka, kini kebenc...