22. Cinta dan Benci itu Benar-benar Berbeda Tipis, ya?

1.1K 168 29
                                    

Note : Cerita ini mengandung kekerasan, tindakan tidak terpuji, dan beberapa kata kasar, mohon bijak dalam membaca.

Don't Plagiat. Don't forget for vote and comment.

.

(Sorry for typo's)

.

|Maaf, ada sedikit pengulangan chapter sebelumnya yang masuk ke chapter ini|
.

Enjoy and Happy Reading.
_

*Sebelum Kejadian.

Langkah Hanif pelan, menyertai Naren yang ada di depannya. Yah, karena demi melancarkan rencana milik mereka, sampai kini Hanif tidak mengungkapkan satu kata pun perihal ulang tahun Naren.

“Assalamulaikum Mas.” ucap keduanya, walaupun Naren berucap dengan nada lesu.

“Wa'alaikumsalam adeknya Mas, selamat datang dirumah.” jawabnya sembari meminta barang bawaan sang adik.

Naren berlalu masuk, membawa bawaannnya, sedang Hanif terkekeh tanpa suara, membuat Malik tersenyum gemas, “Berhasil tau mas! Dia nggak curiga sama sekali.” ucap Hanif berbisik.

“Iya, bagus deh, yuk masuk dulu, adek Can lagi mandi, udah sampe tadi.” ucap Malik.

“Iyaa, tadi Aa' juga udah dikabarin, adek Aji malah mau bawain Aa' soto.” ucap Hanif girang, membayangkan soto kesukaannya akan dibawakan oleh salah satu adik kesayangannya.

Ngomong-ngomong, Hanif punya ponsel baru atas paksaan Malik.

“Hpnya gimana? Bagus nggak?” Malik bertanya sembari menunggu Hanif yang menutup pintu.

“Banget. Makasih ya mas, maaf harus nguras banyak uang mas buat hp Hanif aja.” Hanif mengeluarkan semua belanjaannya tadi dan memasukkannya kedalam kulkas. Sesekali Malik turut membantu.

“Nggak, nggak ngerepotin sama sekali. Mas seneng banget karena adek nerima itu, ini kan first phone buat adek.”

“Habis ini ke kamar kamu aja, Naren diajak kesana aja sambil nunggu yang lain, ya?” ajak Malik, dan Hanif mengiyakan, sekalian saja ia ajak kedua saudaranya menikmati angin sore di balkon kamarnya.

Mereka bercanda, menikmati waktu sembari menunggu Jendral, Aji, dan Reihan untuk melaksanakan rencana.

Tanpa sadar, bahwa Naren mendengar dalam diam. Berpikir tak benar, dan mendengarkan bisikan-bisikan setan yang meminta hatinya menanamkan dendam lebih dalam.

“Aku, benci kalian. Aku, benci Hanif.” ucapnya sembari berlalu pergi, ia usap kasar air mata yang jatuh perlahan dari matanya.

Hanif dan Malik memasuki kamar tidur Hanif, dan tak disangka ada Naren yang sudah duduk di kasur dengan ponsel di tangannya.

“Udah puas berduaannya? Kirain masih perlu waktu lama lagi.” ujarnya, tanpa mengangkat pandangan dari ponsel ditangannya.

Hanif dan Malik saling bertatapan, lalu keduanya melemparkan senyum gemas, “Ululu, Nana cemburu ya?~”

“Dih, kagak lah, ngapain.”

How He Died?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang