24. Dicinta Ataupun Dibenci, Manusia Pasti Memiliki Waktu Pergi.

1.2K 168 59
                                    

Note : Cerita ini mengandung kekerasan, tindakan tidak terpuji, dan beberapa kata kasar, mohon bijak dalam membaca.

Don't Plagiat. Don't forget for vote and comment.

.

(Sorry for typo's)
.

Chapter ini narasinya lumayan panjang, jadi pelan-pelan aja, semoga nggak bosen, ya. Tinggalkan komentarnya juga, sayang.
.

Enjoy and Happy Reading.
_

Malam gelap menghembuskan angin dingin, Candra dan Aji meminum teh mereka lamat-lamat, sembari menunggu soto bungkusan yang mereka pesan.

Pikiran kacau keduanya terhenti kala suara radio di warung kecil itu berbunyi.

Sebuah lagu dari Nosstress dengan judul tunjukan cintamu itu terputar.

Tapi semua yang kau cinta, akan pergi
Maka tunjukan cintamu sebelum terlambat
Kita pikir kita slalu punya waktu
Jadi kita pilih untuk nanti dulu
Bagaimana jika nanti tak pernah ada?

Keduanya menahan nafas, entah mengapa tiba-tiba saja sedikit ketenangan yang diberikan malam dan teh tadi hilang lenyap terbawa lirik lagu ini.

Mang, masih lama?” tanya Candra.

“Enggak dek, sebentar lagi kok ini selesai, tinggal bungkus sambel sama krupuknya aja.” jawab sang penjual soto itu.

“Enggak usah deh mang, sotonya gitu aja, berapa ya?”

“Oh gini aja? Nggak papa beneran ini? Lima belas ribu dek.”

“Iya aman, gini aja udah cukup mang, ini sama tehnya dua mang.” Aji mengeluarkan uang lima puluh ribu kala sang penjual menyebutkan nominal dua puluh lima ribu sebagai totalnya.

“Kembaliannya ambil aja, mang!” Aji meninggalkan uang itu dan menarik Candra pergi dengan cepat, soto tadi dipegang erat oleh Candra, bersama dengan kakinya yang mencoba berlari cepat mengikuti langkah panjang Aji.

“Ji, capek Ji!” Candra berhenti sejenak, kalau begini dia kan jadi menyesal sebab tidak membawa kendaraan apapun.

Sorry ya Kak, panik banget ini. Perasaan adek nggak enak.” ucapnya sembari turut berhenti.

“Iya iya, aman, perasaanku juga sama aja nggak enak, lanjut balik aja deh yok.” ajak Candra.

Jujur, keduanya benar-benar merasa kekosongan pada relung hati mereka, seolah-olah kehilangan besar siap menyambut keduanya.

“Nanti aku yang suapin Aa' ya Ji.” ucap Candra mutlak kala mereka mulai memasuki lorong rumah sakit.

“Iya, gantian kan bisa, nanti kamu duluan, baru aku.” jawab Aji.

“Ini kenapa nggak manggil Kak lagi? Udah seneng loh aku dipanggil Kak.” Candra berucap sedikit menggoda Aji, demi melunturkan atmosfer tegang diantara mereka.

“Hng, khilaf tadi.” jawab Aji seadanya membuat Candra mengigit bibir dalamnya kesal.

Langkah keduanya yang semula cepat, perlahan melamban, dapat keduanya tangkap suara tak asing dari kamar sang kakak kelima.

Sesak mendera cepat, merayap menggerayangi saraf-saraf mereka.

Susah payah melanjutkan langkah, keduanya menekan segala pikiran negatif yang kini menari-nari liar dalam pikiran.

Kekalutan semakin pekat, sebab yang mereka dengar adalah,

Tangisan seorang Jendral.

“A?” panggil Aji sembari membuka pintu.

How He Died?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang