Note : Cerita ini mengandung kekerasan, tindakan tidak terpuji, dan beberapa kata kasar, mohon bijak dalam membaca.
Don't Plagiat. Don't forget for vote and comment.
.
(Sorry for typo's)
.
Enjoy and Happy Reading.
_*
Sebelum Kehilangan
Jendral tergugu diam, ia peluk erat Naren yang menangis dalam dekapannya.
Dalam benaknya ia memaki diri, bertanya-tanya apakah memang dirinya gagal dalam menjadi seorang Abang yang baik bagi adik-adiknya?
Beberapa waktu lalu ia berjalan ke taman belakang. Hendak menikmati ketenangan bersama secangkir teh pada satu-satunya ayunan yang ada disana. Namun hal itu gagal, bukan ketenangan yang Jendral dapatkan, namun sebuah penyesalan atas banyak hal setelah mendengar Naren bercerita, mencurahkan seluruh kegundahan hatinya.
Kala cangkir teh ia letakan, ia mendengar Naren berucap, “Naren benci banget Bang, kenapa Naren selalu ngerasa kalian nggak sayang aku?!”
Sejenak, tadi Jendral terdiam, sebelum ia duduk, memilih mendengarkan keluh kesah adik pertamanya.
“Hanif, Hanif, Hanifff terus! Selalu saja dia yang disayang!” Jendral menggigit bibirnya, memangnya iya begitu? Pikirnya.
“Na?” Jendral memanggil pelan, namun Naren seolah tuli, tak mendengar sedikitpun suara sang Abang.
“AKU BENCI BANGET SAMA DIA BANG!” Teriaknya sembari memukul pahanya, namun tak lama tangannya ditahan oleh Jendral, “Abang nggak sayang aku!”
“Atas dasar apa, Naren? Abang sayang kamu, sayang Hanif, sayang Adek dua bungsu, Abang sayang kalian semua.”
“Nggak. Abang nggak sadar! Abang sayang Hanif, Mas sayang Hanif, Adek sayang Hanif, nggak ada cinta tersisa buat aku!” Naren menyanggah, kilatan emosi tercetak jelas disana.
“Hanif sayang kamu, kita semua cinta sama kamu, Na.” Jendral berucap lembut, selembut belaian air mata menyapa pipinya.
“AKU.” Tangannya ia tarik dari genggaman sang Abang, ia tunjuk dadanya sendiri, “NGGAK BUTUH HANIF!”
Jendral rengkuh paksa daksanya, ia kecupi kepala bergetar milik Naren. Pikirannya berkecamuk, entah setelah ini teh akan mampu meredakan atau tidak.
Namun, dalam pikiran yang berlarian kesana-kemari, Jendral hanya berpikir, memangnya benar, Hanif terlalu mendapat banyak cinta daripada kembarannya?
Jendral, tolong jangan terhasut bisikan setan, cukup rasa iri merasuki hati Naren.
Sungguh Naren hanya ingin sembuh dari trauma masa lalu, ia ingin untuk tanpa berkurang, ia ingin bahagia, namun semua terasa buntu. Sehingga, kala ia melihat Hanif yang mampu terlihat berbahagia, ia dengan lancang berpikir bahwa Hanif sembuh dan bahagia sebab mendapat lenih banyak cinta daripada dia.
Entahlah, terkadang, hati dan pemikiran manusia memang menanamkan bibit-bibit kesalahan.
•••
Hari telah gelap, Hanif berjalan keluar kamar, hendak menghilangkan rasa dahaga yang menyerang setelah solat malam ia laksanakan.
Namun siapa sangka, ia akan menemukan Jendral yang tertidur tak nyaman pada salah satu sofa diruang tengah?
KAMU SEDANG MEMBACA
How He Died?
Fiksi RemajaDeskripsi : Bagaimana bisa, diantara ke-enam saudaranya, ada kemungkinan tindakan kriminal yang mereka lakukan. Aji, bungsu yang sangat-sangat mencintai hujan, bahkan menjadikan momen hujan sebagai masa favorite-nya. Namun, siapa sangka, kini kebenc...