"Gue ga tahu apa-apa soal lo kalo nanti orang tua lo nanya-nanya; siapa tahu mereka mau ngetes seberapa kenal gue sama lo."
Eja hanya tersenyum tipis mendengar ujaran Aya tersebut. Sesekali ia melirik si gadis yang duduk di sebelahnya dengan ekor matanya. Sepanjang jalan malam itu, Aya tampak khawatir. Ia terus menyampaikan rasa cemasnya mengenai pertemuan dengan orang tua Eja.
"Dingin banget, Eja. Gue keknya ga biasa deh make baju terbuka begini," kata Aya kemudian.
"Lo ga nyaman? Kenapa ga bilang dari kemaren, coy? Biar gue bisa beliin baju lain." Eja mengarahkan pijar matanya kepada Aya dan seakan mengabsen tubuh gadis itu dari kaki hingga kepala—berusaha menemukan bagian mana dari gaun yang dikenakan Aya yang membuat si gadis tidak nyaman.
"Gue ga cocok deh pake baju tali 1 begini, mana talinya tipis lagi. Lengan gue yang gede jadi keliatan. Jelek jadinya."
"Cantik," balas Eja cepat. "Cantik kok, siapa bilang ga cantik? Yang lihat kan orang, gue orang, dan menurut gue lo itu cantik," Eja melanjutkan ucapannya dengan tatapan yang fokus ke arah jalanan.
Darah Aya mengalir seakan memenuhi wajahnya, berkumpul di pipinya sehingga wajahnya memerah. Ucapan Eja barusan membuat Aya teringat dengan pertanyaannya untuk Eja kemarin dimana ia mempertanyakan perasaan suka Eja kepada dirinya. Namun tak ada balasan dan menyebabkan Aya terus bertanya-tanya.
"Gue perlu bohong sesuatu ga? For example like my job gitu?" Tanya Aya sembari mengarahkan tatapannya kepada Eja yang tampak serius mengemudi.
"Ngapain bohong. Dosa," jawab Eja sambil terkekeh.
"Gue jadi cewe lo juga kan bohongan," balas Aya cepat dengan wajah yang menunjukkan ekspresi sebal. Eja menengok sejenak dengan seringai yang menghiasi bibirnya. Kemudian pandangannya kembali ia fokuskan ke kemudi dan ke jalanan.
"Lo pengen banget jadi cewe gue beneran?" Eja menggoda gadis itu lagi dan lagi, namun kali ini Aya seakan tak berdaya untuk merespon. Ia mati kutu jika Eja akan mengungkit pesan singkat memalukan yang kemarin dikirimkan Aya padanya.
Mobil berhenti, namun kali ini berhentinya bukan di rumah mewah yang sebelumnya mereka kunjungi bersama. Ini bukan rumah mewah milik nenek Eja.
Aya berusaha membuka pintu mobil sebab ia ingin keluar. Namun belum sempat ia melakukan itu, Eja yang sebelumnya duduk di kursi kemudi justru bergegas cepat keluar dari mobil lalu berlari ke arah pintu mobil Aya. Aya kaget saat melihat Eja membukakan pintu untuknya.
"Ayo," ajak Eja sambil tersenyum manis ke arah Aya, membuat si gadis menjadi salah tingkah.
"Hm, iya," balas Aya.
Aya merapikan gaunnya yang berwarna peach itu. Tak lupa, ia juga merapikan rambutnya yang ia ikat satu. Di tangannya ia memegang sebuah dompet berwarna putih yang juga dibelikan Eja untuknya.
"Mau gandeng ga?" Tanya Eja seraya memperlihatkan lengannya ke arah Aya, berharap si gadis akan menggandengnya sebelum memasuki rumah.
"Boleh ngga usah digandeng ga?" Aya balik bertanya dengan senyum canggung.
Eja menggeleng sejenak, lalu menjawab, "ga boleh. Harus digandeng." Eja kemudian mendekatkan tubuhnya ke tubuh Aya, membuat lengan mereka bersentuhan—tinggal menunggu Aya untuk meraih lengan itu ke dalam pelukannya.
"Kenapa harus digandeng?" Aya bertanya lagi.
Eja tak langsung menjawab. Ia memberi kode lewat tatapannya ke Aya—meminta izin ke Aya untuk membiarkannya memegang tangannya. Aya seakan menyetujui, namun ia kaget saat merasakan Eja memegang pergelangan tangannya. Eja mengarahkan tangan Aya untuk melingkar di antara lengannya, sehingga pada akhirnya si gadis menggandeng dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Couple (from AU "cowokku")
RomanceAya bertekad memutus rantai kemiskinan keluarganya di dirinya dengan cara mencari pacar orang kaya. Namun dirinya justru terjebak hubungan mutualisme dengan Eja, si op warnet yang cuek.