Banyak korban jiwa. Rasanya tiada hari tanpa 'innalillahi wa innailaihi rojiun' di grup WhatsApp. Sakit rasanya melihat orang-orang—dikenal atau tidak dikenal—menghilang nyawanya sebab pandemi ini. Jika ada orang yang patut disalahkan rasanya itu adalah Menteri Kesehatan—dan yang pasti adalah presiden yang lamban dalam memutuskan status lockdown.
Aya hanya bisa menangis sambil menatap ponselnya sore itu. Ia baru saja mendapat kabar duka bahwa sepupu perempuannya baru saja berpulang ke rumah Tuhan lantaran tak sanggup melawan virus mematikan itu.
Ia dan Andini—nama sepupunya itu—sangatlah dekat. Mereka menikmati masa kecil bersama, bahkan sekolah di sekolah yang sama hingga jenjang SMP.
Namun apa daya, Aya tak bisa pulang kampung, selain karena masih dalam keadaan lockdown, ia juga tak punya uang sekalipun ia harus memaksa diri untuk pulang saat ini juga.
Tangisnya tersedu-sedu. Ia teringat wajah Andini. Tangisnya semakin pecah tatkala ia mulai sadar bahwa mungkin sebentar lagi ia akan lupa bagaimana Andini bersuara.
Ponsel Aya berdering. Itu adalah Eja. Sudah sepuluh hari laki-laki itu hilang tanpa kabar, sampai-sampai Aya berpikir bahwa kesepakatannya dengan Eja hanyalah omong kosong. Perjanjian itu rasanya batal, ia bukan lagi pacar bohongan Eja. Sebab ini sudah bulan Juni akhir. Eja berjanji akan membawa Aya bertemu neneknya awal bulan Juni.
"Kenapa?" Tanya Aya dengan suara datar. Ia pula sembari berusaha menetralkan emosinya supaya tak terlalu kentara bahwa ia sedang menangis.
"Gue kepikiran lo," jawab Eja. Suara laki-laki itu sama datarnya seperti Aya, membuat Aya berandai-andai apakah ada hal sama pula yang menahan mereka untuk jujur satu sama lain dengan kondisi yang sedang dialami.
"Kenapa bisa?" Tanya Aya.
"Karena lo cewe gue mungkin."
Aya hanya tersenyum. Senyum yang perlahan-lahan berubah jadi suara tawa kecil, begitupun dengan Eja.
"Lo buka bisnis baru apa gimana? Kok gue rasa lo hilang ya?" Aya menanyakan hal itu dengan pikiran bahwa mungkin Eja akan meledeknya. Namun...
"Kakek gue meninggal. Gue nemenin nenek gue karena kasian kalo dia sendirian."
Lidah Aya kelu.
Baru saja ia ingin adu nasib dengan Eja, tetapi itu langsung dibantah oleh alam, seakan tidak diperbolehkan.
"I'm sorry to hear that, Eja. Kapan?"
"Dua hari setelah gue tutup warnet."
"Setelah itu kan lo ada telpon gue dua kali. Kok lo ga cerita?"
Eja tergelak di seberang telepon. Aya perlahan-lahan kembali ke akal sehatnya dan mengutuk dirinya sendiri kenapa selalu berpikir ia harus tahu segala sesuatunya.
"Lo sama si Kaisar gimana?" Tanya Eja.
"Hah? Ga ada hubungan apa-apa. Gila aja lo!"
Padahal sejujurnya, sejak Aya kembali magang di Perusahaan XY, ia kembali berkomunikasi dengan Kaisar walau secara online. Tidak setiap hari, tapi sudah beberapa kali mereka bertemu di Zoom Meeting atau bahkan saling berbalas pesan.
"Dia tipe cowo lo ya?" Tanya Eja lagi.
"Ga punya tipe. Tapi dia cakep sih."
"Cakep doang mah gue juga bisa," ucap Eja dengan nada meledek.
"Idih," balas Aya cepat. "Btw kok lo random banget tiba-tiba nanyain Kaisar? Lo mulai nge-fans ya?"
"Karena lo kerja bareng dia lagi 'kan? Makanya gue mikir lo pasti mau pdkt ama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
First Couple (from AU "cowokku")
RomanceAya bertekad memutus rantai kemiskinan keluarganya di dirinya dengan cara mencari pacar orang kaya. Namun dirinya justru terjebak hubungan mutualisme dengan Eja, si op warnet yang cuek.