Malam ke-24 di selatan
Pagi tadi, aku melakukan perjalanan cepat bersama Uvi kembali ke ibu kota di selatan. Niatku sederhana, ingin kembali mengunjungi kios kakek di pinggir kota sana. Ada hal yang baru terpikirkan olehku, dan kurasa dia tahu jawabannya. Sekalian, aku rindu roti hangat dan seduhan bijah buatannya.
Tapi, siapa yang kutemui di kios itu, aku benar-benar tidak menduganya.
Ingat gadis kecil yang tersesat di hutan saat hari kedua aku sampai di selatan? Aku bertemu dengan gadis itu dan keluarganya di kios si kakek.
Aku terheran saat melihat mereka dengan santai berbincang di depan kios. Keluarga itu pun sepertinya tidak menyangka akan bertemu denganku lagi. Hanya si kakek yang menyapaku akrab, seolah memang sudah rutinitasku mengunjunginya.
Aku baru mengetahui setelahnya bahwa keluarga itu dalam perjalanan pulang ke barat dari ibu kota selatan. Si gadis penasaran dengan bianglala yang berada di kota, jadi orang tuanya membawanya untuk melihat itu sebelum mereka pulang.
Ah iya, aku baru mengetahuinya hari ini, nama si gadis bertanduk yang cengeng itu, adalah Lilian. Nama yang cantik, tapi tidak secantik nama milikmu, hehe.
Dan kamu tahu? Aku mengalami situasi yang sama seperti saat jamuan makan malam hari itu, orangtua gadis itu banyak bertanya tentang perjalananku sementara anak mereka bermain dengan Uvi. (Yeah, setelah beberapa pendakatan dan diaykinkan oleh ayahnya, akhirnya gadis itu tidak takut lagi pada Uvi). Aku hanya menjawab pertanyaan mereka seperlunya, yah, pendek-pendem saja.
Si kakek hanya diam mendengarkan percakapan kami sembari sesekali menimpali. Akhirnya setelah beberapa lama berbincang, keluarga itu memutuskan untuk melanjutkan perjalan.
Dan akhirnya pula, aku punya waktu untuk bicara empat mata dengan si kakek.
Dugaanku benar, kakek itu punya jawaban atas pertanyaanku. Kenapa aku tidak pernah terpikir sebelumnya. Besar kemungkinan bagimu untuk bersilang jalan dengan kios ini, kakek itu pasti mengenalmu.
Haha, lihat? Apa kubilang, aku pasti bisa mengetahui darimana kamu berasal.
***
Siang hari, di tepian ibu kota selatan.
"Sebenarnya aku sempat merasa dirimu aneh. Setahuku, kamu cukup tua untuk hidup sendirian sebagai ras manusia, bukan? Tapi memang, berkelana sendiri terdengar lebih menyenangkan daripada menjadi kepala rumah tangga." Ayah Lilian berceletuk, tatapan tajam istrinya mengikuti.
"Jadi maksudmu, kau menyesal sudah memutuskan untuk menikahiku, begitu?" Pandangan ibu Lilian terlihat sinis, kesal. Suaminya buru-buru menjelaskan maksud perkataanya, aku hanya tersenyum simpul melihat mereka.
"Sebenarnya, saya tidak se-tua itu. Walau hampir menyentuh kepala tiga, tapi saya belum berkepala tiga." Pemuda itu tertawa kecil, mengalihkan pembicaraan.
"Dan jika saya bisa memilih, tentu saya lebih memilih untuk menghabiskan hari-hari saya dengan orang yang saya kasihi." Pemuda itu mengakhiri kalimatnya dengan senyuman tipis. Sekilas, sorot matanya seakan menunjukan kerinduan, keinginan akan sesuatu yang tidak mungkin didapatkannya.
"Ah tentu saja, saya hanya bergurau, kok." Ayah Lilian tertawa lepas, istrinya hanya diam dan masih setia memberinya lirikan sinis.
"Bukankah kalian harus bergegas? Sepertinya kalian tidak bisa sampai di desa sebrang sebelum matahari terbenam jika tidak berangkat sekarang." Si kakek tiba-tiba memotong pimbicaraan, datang membawa bijah seduh bagianku.
"Ah iya, anda benar. Kalau begitu kami pamit dulu, terima kasih hidangannya." Ayah dari Lilian mengangguk, bangkit dari kursinya setelah sebelumnya menyimpan beberapa keping perak di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anam Cara
Short StoryBintang yang menerangi malam, matahari yang tenggelam di laut, angin yang menari bersama angin. Semuanya terasa berbeda saat tidak ada kamu di sampingku. Suatu saat nanti, bisakah aku kembali menatap rembulan bersamamu? Menari di tengah padang rum...