"Aagastya!" Seruan itu mebuat lelaki dengan warna rambut hazelnut meghentikan langkahnya dan menoleh. Didapatinya kawan yang berjalan terburu-buru menghampirinya dengan wajah kacau, emosi bingung dan denial tergambar jelas di sana. Lelaki yang dipanggil Aagastya itu langsung tahu mengapa kawannya itu terburu-buru menghampirinya hanya dengan melihat ekspresinya.
"Apa benar yang baru saja kudengar?" Kawannya itu buru-buru menanyakan maksud kedatangannya, bahkan sebelum dia benar-benar sampai di hadapan Aagastya.
"Kalau ayam di peternakan baru saja terbang? Ya, kau benar." Aagastya menyeringai usil.
Kawannya itu berdecak, tahu bahwa Aagastya paham apa maksud pertanyaannya. "Kau tahu bukan itu maksudku." Kawannya itu menatapnya jengkel. Aagastya hanya terkekeh, puas melihat wajah jengkel kawannya.
"Ya, kabar itu benar." Aagastya mengangguk.
Kawannya itu menatap Aagastya tidak percaya, dia tidak terlihat senang dengan jawaban Aagastya. "Kau tahu itu artinya mengkhianati kami 'kan?" Ada emosi baru yang tergambar di sorot mata kawannya itu, kekecewaan dan kekesalan.
Aagastya menghela napas pelan, dia seakan tahu respon kawannya akan jadi seperti ini. "Dan kau tahu aku tidak bermaksud mengkhianati kalian."
"Tapi apa yang kau lakukan mengkhianati kami, Aagastya. Sudah menjadi hal tabu untuk menghancurkan tatanan yang dibuat! Tidak seharusnya kau membuat tantangan itu!" Pipi kawannya itu berubah merah padam.
Aagastya mendesah pelan, "aku harus melakukannya."
Dahi kawannya itu merengut, "untuk apa? Jangan bilang kau hanya ingin mengejar gadis itu? Gadis itu adalah pengacau, Aagastya."
Dahi Aagastya ikutan merengut mendengar ucapan kawannya itu, emosinya terpancing, "alasanku ttidak serendah itu, Gin," balas Aagastya dingin.
Kawannya yang dipanggil Gin itu tertawa sebagai tanda sarkasme, tidak percaya, "kau pikir aku tidak tahu? Semenjak dia datang, perhatianmu selalu terpusat padanya. Sadarlah Aagastya, dia itu pengacau! Makhluk rendahan yang tidak seharusnya berada di tengah-tengah bangsawan seperti kita!"
Wajah Aagastya merah padam mendengar ucapan Gin, "sudah kukatakan aku tidak seperti itu! Aku punya alasanku, dan bukan dia alasanku! Hanya saja kalian tidak mau mendengar dan percaya dengan alasanku, berpura-pura bodoh! Kau pikir aku tidak pernah mencoba bicara baik-baik dengan tetua? Aku sudah mencobanya, tapi mereka menjawabku dengan asal."
"Karena memang itu jawabannya," Gin membalas dengan dingin.
Aagstya menyeringai, lebih menyerupai seringaian yang menyiratkan rasa kecewa dan denial, dia tidak percaya bahwa orang terdekatnya di kediaman ini bahkan percaya dengan kebohongan yang para tetua itu ucapkan. "Kau pikir aku tidak tahu kalian tutup mata akan hal itu? Dasar manusia-manusia munafik!"
Wajah Gin merah padam mendengar umpatan yang dilontarkan Aagastya, "memangnya kau tidak, huh? Selama ini kau pun selalu menganggap masalah itu tidak ada, mengabaikannya. Lantas kau tiba-tiba peduli begitu saja semenjak gadis itu datang!" Gin berseru, lantas tertawa sinis, "atau jangan bilang itu hanya alasanmu agar kau dapat mengejarnya."
"Sudah kubilang aku tidak mengejarnya!" Aagastya ikut berseru. Napasnya menderu oleh emosi yang bahkan dirinya sendiri pun tidak mengerti mengapa dia tersulut omongan Gin.
Aagastya menutup matanya frustasi dan mendengus, "sudahlah," ucapnya dingin sembari membuang muka, lantas berbalik meninggalkan Gin.
***
Pemuda itu terkesiap saat terbangun dari tidurnya. Wajahnya terlilhat tidak mengenakan, seolah habis mengalami mimpi buruk. Pemuda itu menggeram, bangkit duduk dan keluar dari kantung tidurnya setelah dia mengambil buku dan pena.
Langit masih gelap saat pemuda itu melihat ke mulut gua. Tempat disekitarnya pun nampak gelap. Api unggun yang dibuatnya beberapa jam lalu sudah mati, menyisakan cahaya remang dari lampu petromaks yang tergeletak tidak jauh dari kantung tidurnya.
Pemuda itu berjalan mendekati mulut gua, tatapannya mengarah pada langit malam yang gelap tertutupi awan hitam. "Sepertinya akan hujan," gumam pemuda itu.
Setelah lama dirinya menatap langit yang mulai mengelurakan suara gemuruh, pemuda itu mendesah pelan, "jika saja saat itu kamu tidak bersikeras untuk mebelaku, mungkin saja sekarang kamu sedang mengembara bersamaku, Gin."
Setelah beberapa menit menatap langit gemuruh, pemuda itu akhirnya memalingkan pandangannya dan duduk di mulut gua, bersandar pada kasarnya dinding batu yang bertekstur, Lantas dia membuka bukunya dan mulai menulis,
Malam ke-25 di selatan ...
.
.
.
.
.
.
.
20 Februari 2024
Seharusnya, scene Gin ini gak ada di cerita aslinya ;-;
Dia itu bahkan karakter dadakan yang dibuat karena tema hari ini ... tapi sepertinya sama seperti si kakek, dia jadi ikutan muncul di cerita aslinya nanti :)
DWC nih ... banyam ngubah alur ceritaku yah, haha :>
Yah, tapi jadi makin asik sih memang alurnya haha. Karena kayaknya si Gin nih bisa memperkuat characther developmentnya Aagastya nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anam Cara
Short StoryBintang yang menerangi malam, matahari yang tenggelam di laut, angin yang menari bersama angin. Semuanya terasa berbeda saat tidak ada kamu di sampingku. Suatu saat nanti, bisakah aku kembali menatap rembulan bersamamu? Menari di tengah padang rum...