Api yang menyala, menari ke udara terlihat begitu kentara di tengah gelapnya langit malam. Sebuah desa kecil yang cukup terpencil itu nampak kacau, perumahan mereka dilahap oleh sang jago merah, meninggalkan asap hitam yang menyatu dengan gelapnya malam.
Teriakan yang menyeruakan ketakutan, kesedihan, dan keputusasaan memenuhi desa kecil itu, disuarakan oleh hampir setiap ras manusia yang terlihat di desa itu.
Tidak terkecuali oleh seorang ibu yang kini dengan sibuk menyeret anak-anaknya yang menangis histeris untuk menjauh dari kekacauan. Keluarga kecil itu masih dengan setelan tidurnya, tapi raut wajah mereka sudah sepenuhnya sadar, menatap kengerian yang terjadi di sekililingnya dengan takut.
Tidak lama, mata ibu itu membulat saat dia menangkap seseorang yang begitu dikenalnya di tengah kekacauan. Raut wajahnya yang semula terlihat putus asa dan panik itu berubah mengharap saat melihat seorang pria berdiri tidak jauh dari mereka.
"Sayang!" Sebuah kebahagiaan sederhana yang dia dapat di tengah kekacauan ini membuat kedua sudut bibirnya naik.
Pria yang dipanggil itu menoleh, menatap istri dan anak-anaknya yang terlihat kacau dan ketakutan. Tapi, tatapannya tidak menyiratkan kekhawatiran, kesedihan maupun patah hati saat melihat orang yang seharusnnya dikasihinya begitu terluka dan kesusahan.
Ibu dan ketiga anak itu menyadari tatapan ganjil yang dilemparkan suaminya pada dirinya dan anak-anaknya. Saat itulah wanita itu baru menyadari, para sosok bertudung merah yang berdiri di belakangnya.
Kelompok bertudung itu tampak menyeramkan dan misterius, siapapun yang melihatnya pastilah berasumsi bahwa mereka yang menyebabkan kekacauan di desa kecil mereka.
"Sayang?" Ekspresi ibu itu berubah kembali, meminta penjelasan dari suaminya yang berdiri diantara orang-orang bertudung merah itu.
Sebelum suaminya adapat menjawab, salah satu orang bertudung itu mendekat pada si suami dan membisikkan sesuatu padanya. Pria itu mengangguk, "saya tahu."
Tepat setelahnya, pria itu melangkah mendekati keluarga kecilnya yang menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tangan pria itu terulur dan memelluk erat istrinya yang masih kebingungan dengan semua situasi ini.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya istri pria itu dalam dekapan erat yang diberi si suami. Meski dirinya kebingungan dan memang punya kecurigaan, dia tidak menolak dekapan suaminya, membiarkan pria yang dicintainya itu menjelaskan dirinya.
Pria itu terlebih dahulu membenamkan kecupan di kening si istri sebelum dia membuka mulutnya dan berbisik pelan, "maafkan aku," suaranya terdengar dingin walau kata-kata yang dipilihnya terdengar lembut, membuat dahi istrinya mengerut dan melangkah ke belakang, menjauh.
Belum sempat si istri genap melihat wajah kekasihnya, dirinya merasakan sayatan dalam, tajam nan dingin pada lehernya. Suaranya tercekat, tidak mampu megeluarkan bunyi apapun. Hanya mampu menatap pria di hadapannya dengan kecewa dan sakit hati yang mendalam. Pandangannya itu masih terkunci pada manik si pria bahkan saat tubuhnya limbung hingga akhirnya jatuh berdebum menyentuh tanah.
Si bungsu menangis histeris melihat tubuh ibunya jatuh dan bersimbah dara, kakak tertua dari ketiga saudara itu menyerukan nama ibunya sebelum tatapannya beralih tajam pada sang ayah.
"Maafkan ayah, nak. Ayah harus melakukannya." Dahi si sulung mengerut, dia jelas tidak menerima penjelasan ayahnya yang tidak masuk akal.
"Menurutku itu bukan penjelasan." Si sulung menatap tajam, memasang badannya yang tinggi dan bugar menamengi adik-adiknya, menggantikan ibunya.
"Nak, sebagai lelaki dan anakku, kau seharusnya mengerti." Si sulung menatap tidak percaya pada sang ayah, dan begitu dia melihat orang-orang bertudung merah di belakang ayahnya mendekat, dia buru-buru menoleh pada si tengah dan berseru, "bawa Eshiana pergi dari sini!"
"Bagaimana dengan-" si tengah terlihat tidak yakin.
"Pergi!"
Seruan terakhir kakaknya itu tidak membiarkan dirinya merasa ragu lebih lama, buru-buru menarik tangan si bungsu, Eshiana dan berlari menjauh dari desa dan memasuki hutan yang gelap.
***
"Kakak!" Seorang gadis belia berseru, terbangun dari mimpinya dan segera duduk, memijat dahinya yang sakit.
Gadis itu menggerutu, tidak senang dengan mimpi buruknya yang menghampiri dan mengacaukan paginya.
"Sepertinya pengacau sepertimu juga bermimpi buruk, eh?" Sebuah suara maskulin dan asing yang terdengar tidak jauh dari tempatnya tidur membuat gadis itu menoleh tajam pada si penyusup.
Seorang pemuda berambut hazelnut yang tengah bersandar di kusen jendela kamarnya terlihat menyeringai usil menatap sosok berantakan gadis itu yang baru bangun dari tidur.
Tatapan gadis itu langsung siaga, dirinya menyelipkan tangannya ke bawah bantal untuk meraih belati miliknya.
Pemuda itu terkekeh, melompat turun dari jendela kamar si gadis yang terbuka lebar, melangkah santai mendekati kasur si gadis.
Gadis itu buru-buru menarik belatinya dan mengarahkannya pada pemuda di hadapannya, membuat pemuda itu mengangkat kedua tangannya, "woah, santai sedikit, gadis nakal." Kekehan pemuda itu kembali terdengar.
"Aku hanya ingin melihat rupa seseorang yang baru saja membuat heboh seisi kediaman ini." Seringaian pemuda itu kembali terlihat, kali ini membuat gadis itu mengayunkan belatinya pada si pemuda.
***
Hari ke-25 di selatan
Sepertinya aku sudah berada di tempat yang benar. Buktinya, aku semakin sering memimpikanmu. Atau jangan-jangan, memang dirimu yang memberiku petunjuk? Haha.
Tapi yang kini jadi masalahnya, aku benar-benar tidak punya petunjuk tentang lokasi pasti dimana tempat tinggalmu dulu. Daerah selatan ini besar, rasanya akan butuh waktu lama untuk menyisir setiap jengkal tanah ini untuk mencari rumahmu.
Jadi, bisakah kau berikan aku petunjuk? Haha.
.
.
.
.
.
.
21 Februari 2024
Sebenarnya aku gak mau ngambil scene ini sebagai flashback walau sepertinya cocok dengan tema dark fantasy. (Yah, yang menonjol kayaknya lebih ke dark nya daripada fantasy nya ;-;) Soalnya, alur ceritanya Eshiana nih belum beres, masih banyak plot holenya, dan scene di atas itu bukan lagi cuplikan spoiler, tapi emang inti ceritanya berpusat di situ ;-;
Yah, aku gak tau apa ke depannya scene ini bakal ada revisi atau tidak, tapi berhubung aku benar-benar buntu mau nulis soal apa, jadinya aku nulis scene ini aja deh ... :"))
Anyway, maaf kalau diksinya masih gak enak dan banyak typo, belum kurevisi soalnya, karena aku nulis dengan kondisi kepala yang pusing dan badn yang panas :"))
Aku usahain untuk revisi secepatnyaa, biar mata kalian enggak sakit pas baca hwhw.
Oke babay!
KAMU SEDANG MEMBACA
Anam Cara
Short StoryBintang yang menerangi malam, matahari yang tenggelam di laut, angin yang menari bersama angin. Semuanya terasa berbeda saat tidak ada kamu di sampingku. Suatu saat nanti, bisakah aku kembali menatap rembulan bersamamu? Menari di tengah padang rum...