Sore hari di desa lereng bukit nampak sibuk, para pedagang yang datang membuat kehidupan di desa menjadi lebih ramai. Tenda-tenda didirikan, jalanan penuh oleh orang yang berlalu lalang, sementara lapang kosong yang berada di tengah-tengah desa menjadi pusat keramaian sore ini.
Para pedagang mendirikan tenda mereka disana, memajangkan dagangan mereka kepada penduduk desa. Pemuda itu berjalan diantara kerumunan mencari tenda milik ketua rombongan.
Setelah beberapa saat menerobos lautan orang, pemuda itu akhirnya sampai pada tenda besar yang didirikan tidak jauh dari lapangan. Tangan pemuda itu menyibak kain yang menjadi pintu masuk tenda. di dalamnya duduk seorang pria yyang sudah lama dikenalnya.
Wajah pria itu langsung sumringah melihat kehadiran si pemuda, "Aagastya!" pria itu refleks berdiri menghampiri pemuda yang dipanggil Aagastya.
"Kau tahu aku sudah lama tidak menggunakan nama itu, Wira."
Pria yang dipanggil Wira itu terkekeh, menepuk-nepuk punggung si pemuda dengan akrab. "Baiklah baiklah, Darius," Wira mengangguk-angguk sebelum dirinya mempersilahkan Darius untuk duduk.
"Jadi, ada angin apa kau mengunjungiku begini?" tanya Wira, menaruh tangannya di pinggang. Pria itu tahu tidak mungin bagi Darius untuk menemuinya tanpa alasan.
"Aku sedang mencari tempat tinggal Eshiana," aku Darius sembari duduk pada salah satu kursi yang melingkari meja.
Mata Wira membulat, "jadi dia berasal dari selatan?" Darius mengangguk sebagai jawaban.
"Dugaanku, dia berasal dari suku manusia yang dibantai sebelas tahun lalu."
Alis Wira bertaut, raut wajahnya kini serius sementara dirinya bergeser lebih dekat ke tempat duduk Darius, "maksudmu, pembantaian yang itu?" Wajahnya menatap Darius horor, memastikan pendengarannya masih berfungsi dengan baik.
Darius mengangguk.
"Itu gila, bung. Kalau dugaanmu benar, berarti dia menyaksikan hal semengrikan itu ... di usia yang terlalu muda." Darius lagi-lagi mengangguk menanggapi Wira.
Wira menarik badannya ke belakang, mengusap wajahnya yang pias sebelum dia menaruh lengannya pada meja sebagai tumpuan badannya yang cukup gempal. "Lalu, apa hubungannya hal itu denganku?"
"Kau seorang pedagang, apa kau tidak pernah sekalipun mendengar dimana mereka tinggal?" Darius menatap Wira penuh harap, badannya bergerak maju, medekat pada lawan bicaranya.
Namun sayang Wira menggeleng pelan, "maafkan aku kawan, tapi aku baru menjalankan rombongan pedagang ini selama tujuh tahun menggantikan pamanku. Tapi, kau mungkin bisa bertanya pada anggota lama, mereka mungkin tahu sesuatu."
Darius menghela napas kecil, ternyata kawannya pun tidak tahu keberadaan suku itu. Tapi tidak lama setelahnya, Darius mengangguk pada Wira. "Baiklah, aku akan bertanya pada mereka."
Wira mengangguk, dan dia ikut berdiri saat kawannya itu berdiri, "biar kutemani. Seklian mengajakmu berkeliling dan berkenalan dengan anggota rombonganku. Mungkin bisa menyembuhkan sedikit patah hatimu." Wira terkekeh, menepuk-nepuk punggung Darius yang hanya tertawa masam mendengar candaan kawannya.
Kedua lelaki itu melangkah keluar dari tenda besar hanya untuk disambut oleh keramaian yang semakin menjadi di luar tenda.
"Omong-omong, sepertinya rombonganmu membuat kehebohan ya." Mata Darius meliar, menatap kerumunan orang yang sepertinya berpusat di tengah lapangan.
Wira tertawa mendengar komentar Darius, "belakangan, aku merkerut penyanyi jalanan ke tim penghiburku."
Dahi Darius berkerut mendengar penjelasan kawannya itu. "Kau membuat tim penghibur?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Anam Cara
Short StoryBintang yang menerangi malam, matahari yang tenggelam di laut, angin yang menari bersama angin. Semuanya terasa berbeda saat tidak ada kamu di sampingku. Suatu saat nanti, bisakah aku kembali menatap rembulan bersamamu? Menari di tengah padang rum...