Malam ke-31 di selatan
Tadi, saat membangun tenda untuk beristirahat, aku bertemu dengan seorang pemuda yang tengah berburu ke kedalaman hutan selatan yang pucuk-pucuk pohonnya sudah tertutup salju.
Pemburu itu bilang, dia sudah dua malam berada di hutan ini, malam ini yang ketiga, tapi dia belum mendapat buruan apapun. Aku hanya mengangguk prihatin padanya. Bagaimana pun, aku juga terkadang berburu untuk makan sehari-hari. Hanya saja, belakangan aku lebih memilih membeli persediaan di desa terdekat, contohnya beberapa hari lalu saat aku mampir ke kedai.
Aku membeli beberapa persediaan di sana, roti, selai dan dendeng. Tidak seenak daging buruan memang, tapi belakangan aku terlalu malas untuk berburu.
Namun, pemburu itu mengajakku berburu bersama besok dan aku menerima ajakannya. Sudah lama aku tidak berburu bersama, terakhir kulakukan bersamamu. Karena itu aku menerima ajakannya, sekalian, aku sudah merasa perlu bersosialisasi dengan manusia lagi setelah tiga hari hanya berbicara dengan Uvi.
***
"Apa yang kau tulis?" Darius mengangkat kepalanya dari buku, lantas menggeleng dan menyimpan penannya.
"Bukan apa-apa, hanya surat."
Dahi Riot, pemburu yang menemani Darius malam ini, merengut kebingungan. "Kau menulis surat di buku?"
Darius tertawa kecil mendengar pertanyaan Riot, "ya," Darius menjawab singkat.
"Itu agak aneh kawan, apa nanti kertasnya kau robek?" Alis Riot terangkat, bertanya.
"Tidak, tidak ku robek."
Alis Riot bertaut, "kau kirim semua bukunya sekaligus? Sepanjang itu suratmu?"
Darius tertawa lagi, pemikiran pemuda di depannya ini begitu sederhana. "Bukan begitu," Darius menggeleng, menggantung kalimatnya sembari tayapannya beralih pada langit biru tua yang dipenuhi bintang.
"Aku menulis surat ini untuk kekasihku yang tidak bisa lagi kutemui." Darius mengalihkan pandangannya pada api unggun yang dikelilingi oleh Riot, anjingnya Riot, tenda, Uvi dan dirinya.
"Selama hal itu belum terjadi, aku akan terus menulis di buku ini, akan kusimpan surat ini, sampai nanti aku bisa mengirimkannya padanya." Darius menyelesaikan kalimatnya dengan pandangan yang kini menatap dalam pada buku di pangkuannya, tangannya yang agak kasar tersimpan di atas buku itu.
Riot yang sedari tadi diam mendengarkan akhirnya bergerak mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Darius yang menyadari pergerakan itu menatap setiap pergerakan Riot.
"Apa itu?" Kali ini, Darius yang bertanya saat dirinya melihat Riot mengeluarkan sebuah alat kecil berbentuk persegi dengan rongga-rongga pada salah satu sisinya.
"Harmonika, orang-orang di desaku suka memainkam alat musik ini di setiap momen hidupnya. Sedih, bahagia, semangat ..." Riot menggantung kalimatnya dan menatap Darius, "bahkan saat patah hati."
Darius tertawa lepas mendengar kalimat pemungkas Riot, tapi tidak berkomentar lagi.
Riot pun tidak menghiraukan gelak tawa Darius dan memainkan haromnikanya dengan percaya diri.
Malam hari mereka kini diiringi dengan suara harmonika yang nyaring namum indah dengan lantunan melodinya. Walau sejujurnya Darius merasa alat musik itu kurang cocok untuk patah hati, tapi sebenarnya tidak buruk juga.
Beberapa menit berlalu dengan permainan harmonika Riot sebelum akhirnya pemuda itu berhenti, menutunkan harmonikanya dari mulut.
"Aku juga punya gadis yang kukasihi," mulainya.
"Setiap pagi, aku selalu melihatnya mengurusi kebunnya dari jendela rumahku. Dua hari ini, aku hanya bisa melihat wajah anjing keluargaku setiap pagi."
Darius lagi-lagi tergelak dengan perkataan Riot, orang ini terlalu jujur.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
26 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Anam Cara
Short StoryBintang yang menerangi malam, matahari yang tenggelam di laut, angin yang menari bersama angin. Semuanya terasa berbeda saat tidak ada kamu di sampingku. Suatu saat nanti, bisakah aku kembali menatap rembulan bersamamu? Menari di tengah padang rum...