Angin lembut berhembus, membawa serta dandelion yang rapuh terbang bersamanya, lantas hinggaplah serpihan dandelion itu di pucuk kepala seorang gadis. Warna rambutnya yang hitam membuat serpihan dandelion itu nampak mencolok, dan pemuda yang berjalan di belakangnya tampak menyadarinya, dia mengulurkan tangannya untuk meraih serpihan itu.
"Sedang apa kau?" Gadis itu menoleh tajam saat merasakan sentuhan halus di helai rambutnya, menatap tajam pada si pelaku.
Pemuda itu, si pelaku, hanya menunjukan cengirannya sembari mengendikan bahu, dia tahu bahwa tatapan tajam wanita itu tidak akan hilang sebelum dirinya menjelaskan tindakannya barusan, tapi justru hal itu lah yang pemuda itu nikmati.
"Aagastya." Si Gadis mendesis, tapi mendengarnya menyebutkan namanya, cengiran pemuda itu terlihat semakin lebar saja.
"Jadi sekarang kau ingat namaku?" Cengiran pemuda itu terlihat menggelikan di mata si gadis, tapi nampaknya pemuda itu tidak peduli, terlihat jelas dia puas dengan respon gadis di hadapannya.
"Aku tidak akan meminta dua kali." Gadis itu mendengus.
"Oh ya?" Sebelah alis pemuda itu terangkat, cengirannya masih setia terpajang di bibirnya.
Gadis itu mendengus lebih keras, menutup matanya sesaat sebelum membukanya lagi hanya untuk mendelik pada pemuda yang dia panggil Aagastya. "Dengar, kamu hanya punya kesempatan sekali lagi untuk mengaku. Jika tidak, aku tidak perlu repot-repot menunggu jadwal arena untuk membunuhmu."
Aagastya terdiam sebentar sebelum terkekeh dan mengangkat kedua tangannya, tangan kanannya menunjukan serpihan dandelion pada gadis itu. "Hanya mengambil ini. Tenang, aku memang merepotkan diri, menunggu jadwal arena untuk membunuhmu."
Wajah gadis itu berubah merah padam, sebelum akhirnya dia berbalik dengan kasar dan meninggalkan Aagastya dengan langkah yang menghentak. Aagastya hanya menyeringai puas melihat tingkah gadis itu.
***
|| Unafraid of crossing a ten thousand li, just for the dawn and twilight.||
"Hei," lambaian tangan yang dilaukan berulang tepat di depan matanya membuat pemuda itu terperanjat, matanya berkedip beberapa kali sembari dia menarik kepalanya menjauh dari lambaian tangan tersebut.
"Memikirkan apa kau heuh? Jangan sekali-kali berpikir untuk merebut wanitaku." Pemuda yang sebelumnya melambaikan tangan terkekeh, bergurau.
Si pemuda penunggang naga tersenyum simpul, "tidak mungkin, Jin."
"Oh?" Pemuda yang dipanggil Jin itu nyengir. "Jadi memang sudah ada wanita yang menjamah hatimu?" Cengiran Jin terllihat melebar.
Si pemuda penunggang naga terkekeh, "sejak kapan aku bilang tidak ada?"
Jin terkekeh, sebelum akhirnya dia menoleh horor pada lawan bicaranya, "jangan bilang nagamu itu?"
Tawa pemuda itu lepas, membuat seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari mereka menoleh, terperanjat mendengar tawa itu.
"Dia jantan, bung."
Jin ber-oh pelan sebagai respon. "Kutebak, dia alasan kau berkelana seperti ini."
"Kau benar," timpal si pemuda.
Jin terkekeh, "kamu mungkin sudah berkelana sejauh sepuluh ribu li untuknya."
"Li?" Sebelah alis pemuda itu terangkat.
"Satuan jarak, sebutan umum di desaku. Mungkin sekitar ... setengah kilo?"
***
|| Lost whitin your clear eyes, they're the most unforgottable scenery. No one can compare to those time of old. ||
KAMU SEDANG MEMBACA
Anam Cara
Short StoryBintang yang menerangi malam, matahari yang tenggelam di laut, angin yang menari bersama angin. Semuanya terasa berbeda saat tidak ada kamu di sampingku. Suatu saat nanti, bisakah aku kembali menatap rembulan bersamamu? Menari di tengah padang rum...