Kios Pinggir Kota

9 2 0
                                    

Malam kelima di Selatan.

Hal yang menyenangkan terjadi hari ini, aku bertemu dengan seorang kakek tua di pasar. Kakek itu tiba-tiba saja berbicara padaku, "jarang sekali melihat pemuda sepertimu di sini." Mungkin maksudnya, dia tidak terbiasa melihat seorang lelaki muda sepertiku belanja seorang diri di pasar. Padahal, hal itu sebenarnya cukup lumrah di tempatku lahir, tapi sepertinya di sini berbeda. 

Walau memang, aku terbiasa berburu daripada berbelanja belakangan ini, dan sepertinya keahlian tawar menawarku turun. Rasanya kesal sekali saat mendapat daging kuda dengan harga dua keping emas, padahal aku bisa dengan mudah mendapatkannya di hutan timur.

Berbicara tentang kakek itu, dia ternyata memiliki kios kecil di pinggir kota dan dia mengundangku untuk minum Bijah seduh di kiosnya.

Awalnya aku ragu untuk menerim tawarannya. Aku tahu apa itu Bijah, kebanyakan desa di bagian selatan ini memang gemar menanam Bijah tapi belum pernah sekali pun aku mencobanya. Bentuk buahnya terlalu aneh, keras seperti batu dan warnanya merah pekat. Terlihat beracun di mataku.

Tapi pada akhirnya, aku menerima tawaran kakek itu. Dia terlalu ramah dan baik, rasanya aku menjadi sangat kurang ajar jika menolak tawarannya. 

Tidak seperti gadis kecil yang kutemui beberapa hari lalu, kakek itu terlihat sangat menerima dan tertarik dengan Uvi. Dia bertanya banyak hal tentang perjalananku, bagaimana aku bertemu dengan Uvi lalu berhasil menjinakannya hingga akhirnya kami menjadi sohib sehidup semati, haha.

Mengobrol dengannya sangat menyenangkan sampai aku tidak sadar kami sudah sampai di rumahnya. 

Rumah yang sangat sederhana, batu yang kuat dan kokoh terlihat saling menumpuk, menyusun hingga membentuk rumah kecil yang nampak hangat di tengah dinginnya angin selatan. 

Asap mengepul dari cerobongnya, pekarangan rumahnya yang luas terlihat sangat ramai dengan hewan ternaknya dan kebunya. Kios kecil itu bertempat tidak jauh dari rumahnya, benar-benar kecil. Kakek itu hanya menyediakan sepotong kayu panjang sebagai kursi bagi tamu. 

Sembari menunggu kakek itu membuka kiosnya, aku menempatkan Uvi sedikit jauh dari hewan ternak kakek itu. Naga satu itu terkadang suka usil, membuat heboh  beberapa peternakan warga. Untunglah mereka tidak tahu siapa pemilik naga itu. 

Lima menit kemudian, kakek itu telah membuka kiosnya. Bukaan depannya membuat akses bagi tamu dan kakek itu yang berjaga di dalam. Ruangan di dalamnya pun terbilang kecil, mungkin hanya bisa terisi tiga orang dewasa beserta jajaan-jajaan rumahan miliknya. 

Kakek itu bercerita tentang kiosnya sembari aku menyeruput Bijah seduh buatannya—ternyata rasanya tidak begitu buruk, pedas dan pahit— Kios ini beilau buka karena memang banyak pedagang atau pengembara yang melewati jalan di depan rumahnya. Kakek itu tidak tahan melihat mereka kelelahan, lapar dan dingin setelah melalui lamanya perjalanan, akhirnya dia buka kios ini dan menjual 

beberapa roti hangat dan Bijah seduh. 

Walau katanya, dia tidak bisa meraup untung dari kios ini. Terlepas dari pengunjungnya yang sedikit, kakek itu lebih sering menjamu mereka dengan dagangannya daripada menjualnya. Aku hanya terkekeh saat mendengarnya. 

Namun, kakek itu tidak merasa rugi. Roti dan seduhan Bijah hangat yang diberinya selalu dibayar dengan cerita menarik para pengunjung kiosnya. Mengejutkannya, beliau tahu banyak informasi-informasi yang terbilang rahasia atau hal-hal yang tidak umum. 

Kakek itu pernah kedatangan seorang penyihir dari tempat yang jauh. Menurut si kakek, penyihir itu datang karena diminta oleh pewaris takhta kerajaan selatan untuk menyembuhkan penyakit mematikan anaknya, bahkan katanya, tabib terhebat di kerajaan itu pun tidak sanggup menyembuhkan penyakit anak itu. Sampai akhirnya seorang dukun bilang bahwa anak itu disihir, tapi si dukun pun tidak tahu cara menangkal sihir itu dan dipanggilah penyihir itu untuk mengusir penyakit anak itu. 

Cerita kakek itu berhenti saat piring dan gelasku tandas, aku memberinya daging kelinci sebagai tanda terima kasih, kakek itu menerimanya dengan senang hati, bertaka bahwa dirinya sudah lama mendambakan makan daging kelinci. Aku dengan senang hati memberinya tangkapanku sore kemarin. 

Setelah berpamitan, aku pergi meninggalkan kios kakek itu.

***

Bunyi sibak air yang keras membuat pemuda itu menoleh dan buru-buru menyimpan bukunya ke dalam tas. Matanya mengarah pada kepala Uvi yang menyembul dari air dan berenang mendekat.

Pemuda itu terkekeh, memanggil sohibnya itu untuk mendekat.

.

.

.

.

03 Januari 2024

Anam CaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang