Tara punya dua hal yang disukainya akhir-akhir ini. Pertama, bis Transjakarta yang dinaikinya dalam keadaan lengang. Kedua, Kopi Jago.
Kopi Jago ini sebenarnya ditemukan tak sengaja saat keluar dari MRT. Tara tertarik pada konsep jualannya yang bikin nostalgia pada penjual susu Nasional keliling di komplek rumahnya dulu. Alias, abangnya gowes sepeda sambil bawa boks gede berisi stok susu. Bedanya, Kopi Jago ini jualan kopi. Seingatnya ada teh juga. Tapi karena Tara perlunya kopi, dia praktis fokusnya kopi doang. Dan, demi kopi itu, Tara sampai bela-belain naik MRT.
Begitu keluar dari stasiun MRT, kaki Tara melangkah cepat menuju tempat gerobak kopi langganannya itu biasa mangkal. Dia mesti berlomba dengan penumpang lain untuk beli kopi yang satu itu. Mungkin dengan alasan yang sama orang-orang beli kopi sepedaan tersebut, yaitu: super ramah di kantong dan enak. Alhasil, bukan hanya sekali Tara kudu antre demi segelas Salted Caramel favoritnya.
"Salted Caramel satu ya, Bang." Tara menyebutkan pesanannya kepada penjual kopi. Sementara kopinya disiapkan, Tara memindai kode untuk pembayaran. Alisnya bertaut ketika pembayarannya gagal.
"Udah, Mbak?" tanya si penjual. Salah satu tangannya menahan kopi pesanan Tara.
Melihat itu, Tara langsung nyengir. "Bentar, Bang. Koneksinya anjlok," ujarnya agak mulai panik. Seraya berdeham, dia kembali mencoba mengarahkan kamera ponsel ke kode pembayaran.
Pembayaran Gagal.
Otomatis Tara mengumpat. Dia mengulangi hal yang sama, tapi suara keluhan mulai terdengar dari antrean orang-orang di belakangnya. Diam-diam, dia melirik abang penjual kopi di hadapannya. Tampang-tampangnya mulai geregetan juga lantaran pembayaran Tara tak kunjung kelar juga.
Pembayaran Gagal.
"Tunai bisa kok, Kak," ucap si penjual lagi. Tampaknya menyadari kesulitan yang dihadapi Tara.
Lagi–lagi Tara menyeringai lebar. Dia segera membuka tasnya, mencari dompet.
Lho? Ke mana dompetnya?
"Sebentar, Mas." Tara meletakkan tasnya di gerobak kopi. Tanpa mengindahkan tampang abang penjual kopinya yang mulai kesal, tangan Tara mulai mengaduk-ngaduk tasnya yang mirip kantong Doraemon. Masa dari tas segede gini, dompetnya tidak kelihatan sama sekali?
"Lama banget, sih?"
"Ngapain di depan, deh?"
"Mbak, udah selesai, belum?"
Keluhan-keluhan itu bikin Tara makin panik. Dia pun makin brutal mengaduk-ngaduk isi tasnya. Demi Tuhan, ke mana dompetnya?
"Gabungin aja, Bang. Tadi saya udah bilang sama pacar saya biar bareng aja, tapi dia keras kepala mau bayar sendiri." Tiba-tiba seorang lelaki maju dan mengambil alih tempat Tara di depan gerobak kopi. "Tambah dua kopi susu, ya. Bungkusnya pisah aja, Yang?" tanyanya seraya memandang Tara.
Tara spontan melongo. Matanya masih berusaha mencerna pemandangan yang terjadi.
Barusan om-om ini menyebutnya sebagai pacarnya? Bahkan memanggilnya "Yang" juga?
"Yang?" Si Om memanggil Tara lagi. Alisnya diangkat sebelah.
Tara otomatis tersentak. Dia mendongak sedikit untuk menatap lelaki itu dan abang penjual kopi secara bergantian. Pelan-pelan, senyumnya merekah. Tapi bibirnya terasa kaku.
"Eh... ya, iya. Dipisah aja, Yang." Tara akhirnya mengangguk. Kedua pipinya perlahan bersemu. "Sori, tadi aku... eh, zoning out...?" ujarnya, ragu.
Akhirnya, lelaki itu melempar senyum tipis.
OMG, manis banget senyumnya, Om! batin Tara spontan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at Risk
ChickLitTara harus menemukan calon suaminya sebelum ulang tahunnya yang ke-31. Padahal Tara telanjur nyaman dengan Hasya, teman kantornya. Sementara, orangtua Tara maupun Hasya menentang hubungan mereka. [Spin off Love in Credit] Publish date: 23 Feb 24