"Bagusan mana, Sya?" Tara menyodorkan ponselnya kepada Hasya yang lagi menikmati nasi Padang. Sepasang mata perempuan itu berbinar-binar penuh semangat.
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Tara nyaris tak berhenti nyengir begitu nominal gajinya masuk ke dalam rekeningnya. Tak lama setelah gajinya dipastikan masuk, dia langsung membayar semua tagihan-tagihan yang nyaris jatuh tempo. Tak lupa, dia juga membayar kosan sebelum uangnya raib entah ke mana lagi.
Begitu semua tagihan lunas, Tara putuskan makan malam yang agak mewah sedikit. Alias, makan malam di food court mal. Namun selagi makan, tangannya tidak berhenti scrolling di lapak e-commerce hingga menemukan beberapa sepatu lucu.
"Emang sepatu lo kenapa?" balas Hasya tanpa menatap Tara. Perhatian lelaki itu tertuju ke layar ponsel Tara di tangannya.
"Nggak kenapa-napa," Tara mengangkat bahu sekilas. "Tapi di antara dua sepatu itu mana yang bagus, Sya?"
"Kalo nggak kenapa-napa, ngapain lo lihat-lihat sepatu?"
"Mau dibeli. Self reward."
"Katanya ini self reward," Hasya menunjuk piring Tara seraya mengembalikan ponsel. Alisnya menyatu heran. "Lo berapa kali self reward dalam sebulan deh, Ra?"
Tara tidak langsung menjawab. Alih-alih, dia memikirkan ucapan Hasya.
Sejujurnya Tara tidak pernah benar-benar memikirkan berapa kali self reward. Yang jelas, dia butuh Kopi Jago supaya bisa beneran bangun tiap pagi. Disusul nyetok beberapa snack sebagai pengalihan kalau stres di tengah-tengah analisis proposal debitur, malah kadang dia masih suka iseng jajan juga di jam-jam siang abis makan siang menuju sore hari atau begitu pulang kerja. Intinya, kalau merasa perlu, Tara otomatis self reward. Toh, pakai gajinya juga. Kendati demikian, Tara memang tidak bikin budget tertentu.
"Seperlunya aja, kok," jawab Tara akhirnya. Jempolnya kembali melihat-lihat sepatu yang menarik minatnya tadi. Kepalanya dimiringkan sedikit. "Kayaknya lucuan yang warna krem, ya?"
"Sebentar dulu," cegah Hasya tiba-tiba menyambar ponsel dari tangan Tara. Matanya memandang Tara lurus-lurus. "Lo bulan lalu bokek sebelum waktunya. Nggak bisa jajan dan mengandalkan paylater–"
"Bulan ini nggak bakal lagi, kok!" sela Tara hendak mengambil ponsel tapi makin dijauhkan Hasya. Bibirnya mengerucut. "Bulan lalu gue salah perhitungan. Gue janji bulan ini nggak bakal salah ngitung lagi."
Semoga. Tara menambahkan dalam hati. Kalau boleh jujur lagi, Tara sudah berkali-kali mencoba berhemat. Sayangnya, godaan duniawi entah gimana lebih kencang.
"Jujur sama gue, Ra. Lo udah berapa kali ada di posisi kayak bulan lalu gitu?" tanya Hasya.
Mulut Tara sudah terbuka, siap mendebat tapi kemudian ditutupnya kembali. Dia menatap Hasya yang duduk di hadapannya. Tampang-tampangnya, lelaki itu tidak bakal puas kalau tidak dijawab sebenar-benarnya.
Lantas, Tara menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya terlipat di dada sambil menyandarkan punggung di sandaran kursi.
"Beberapa kali," jawab Tara. Dia mengangkat dagu sedikit. "Tapi gue masih bisa survive, Sya. Lo lihat sendiri. Emang mungkin kedengarannya risikonya gila banget–"
"Risikonya gila," angguk Hasya, membenarkan. Dia mengembalikan ponsel Tara. "Tabungan lo berarti nol, Ra?"
"Tabungan aset?"
"Semua jenis tabungan. Eh, lo punya aset?"
"Nggak, sih. Portofolio saham gue aja banyakan loss, jadi gue biarin aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at Risk
ChickLitTara harus menemukan calon suaminya sebelum ulang tahunnya yang ke-31. Padahal Tara telanjur nyaman dengan Hasya, teman kantornya. Sementara, orangtua Tara maupun Hasya menentang hubungan mereka. [Spin off Love in Credit] Publish date: 23 Feb 24