Risk 05

505 85 15
                                    

Begitu selesai kick-off, Tara langsung meraup barang-barang dari atas meja. Selain mengantuk, Tara juga menghindari wejangan dari bosnya yang mampu bikin harinya tambah muram.

"Rawi!" Tara memanggil sohibnya yang ternyata lebih dulu ngeloyor keluar.

Tumben. Biasanya Rawi paling betah lama-lama bareng bosnya. Maklum saja, Rawi dan Hasya salah dua kesayangan si bos. KPI keduanya menuju tak terbatas hingga melampauinya. Tapi, masih sportif. Tahu kapan saingan, kapan berteman.

"Hai juga, Ra," balas Rawi.

"Jalannya santai aja. Buru-buru amat, sih? Emang lo dikejar sama si Botak?"

Si Botak yang dimaksud Tara tak lain dan tak bukan memang bos mereka di kantor. Alias, Pak Eddi—orang yang lagi dihindarinya.

Tawa Rawi langsung berderai. "Feeling gue nggak enak kalo kelamaan di ruang meeting," responsnya sambil melirik-lirik ke arah ruangan yang baru saja ditinggalkan.

Nah, sebenarnya Tara juga merasakan hal yang sama.

Kick off tadi lebih banyak mendengar celotehan Pak Eddi yang lagi ngambek gara-gara banyak yang tidak mencapai target. Si bos juga makin senewen kena tekanan dari bos gede. Alhasil, omelan bos jadi terasa berkali-kali lipat.

"Mau makan siang di mana, Wi?" tanya Tara kemudian. Rasanya otaknya tak sanggup lagi mikir soal kerjaan. Perutnya juga sudah protes minta diisi.

"Makan siang? Ini masih jam berapa, lo udah nanya makan siang aja!" gelak Rawi geleng-geleng kepala.

"Biasanya juga gue tanya pas baru dateng. Ini agak ngaret gara-gara kick-off aja."

"Bener, sih. Eh, tapi tumben Hasya telat. Biasanya dia pagi, tuh."

Benar juga.

Hasya tidak pernah terlambat. Saking tak pernahnya terlambat, Tara sampai menganggapnya sebagai keajaiban dunia nomor sekian. Bahkan saat family gathering SME saja, Hasya tetap on time. Orang-orang masih pada molor, Hasya sudah mandi, segar, dan wangi dengan wajah secerah orang abis gajian.

Begitu memasuki ruangan kerja, orang yang di pikiran Tara sudah ada di depan monitor. Tampak serius melihat tabel-tabel di Excel.

"Lo lebih pilih lihat Excel daripada ketemu si botak ya, Sya?" tuduh Tara serta-merta.

"Lihat Excel emang lebih asyik daripada ketemu si Botak, sih," angguk Hasya nyengir. Kedua tangan bersedekap. "Bentar, kenapa tampang kalian suram banget? Botak ngomel?"

"Target nggak tercapai," desah Rawi muram sambil mengangguk. "Eh, Sya. Proyeknya Pak Bimo beneran nilainya segitu? Atau, kebanyakan nol?"

"Kalo nolnya kebanyakan, bisa oper ke rekening gue aja, nggak? Terima QRIS, nih!" seloroh Tara sambil mesem-mesem.

Rawi meringis. "Iya, ya. Udah masuk balada tengah bulan ya, Ra?"

Tara nyengir.

Kayaknya sikon yang dialaminya tidak cocok disebut sebagai balada lagi, melainkan elegi tengah bulan!

"Proyek mana? Bukannya dia baru masukin pengajuan back-to-back?" respons Hasya kepada Rawi.

"Iya. Emang yang itu. Gue dikasih rincian bisnisnya, tapi pas ngecek kayak ada yang aneh di bagian proyeksi keuangannya. Boleh tolong cek ulang ke Pak Bimo, Sya?"

Sementara Rawi dan Hasya sibuk diskusi masalah kerjaan, diam-diam jempol Tara mengecek aplikasi ojol. Otaknya sibuk mencari restoran untuk makan siang nanti. Makanan enak biasanya menjadi penyemangat yang efektif. Apalagi setelah digempur oleh omelan bos.

Love at RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang