Rawi: Kalo nggak salah, Hasya anak pertama.
Tara membuang napas panjang begitu mendapat balasan dari Rawi. Ponselnya diletakkan dengan asal dan memejamkan mata. Sementara otaknya kembali menariknya ke kejadian semalam.
Hasya membeli pembalut untuknya. Tak cukup di situ saja, Hasya juga tahu-tahunya obat pereda nyeri saat menstruasi, dan menyelipkan obat itu dengan pembalut yang dibeli.
Jujur saja, seketika itu Tara tak tahu gimana harus bersikap. Satu sisi, dia malu oleh tingkahnya yang bagai remaja puber panik lantaran baru mengalami tamu bulanan pertama kali. Sisi lainnya, entahlah. Ini kali pertamanya dia ketemu lelaki yang tidak protes perkara pembalut. Sedangkan dulu Mas Cipta saja ogah dan ngomel melulu tiap Tara titip beli pembalut.
Tara speechless. Apalagi abis itu mereka tetap menonton seolah tak ada apa-apa. Walau sesekali Tara menciduk Hasya memandangnya, tapi... ya sudah. Seolah tidak ada apa-apa. Alhasil, Tara nekat bertanya kepada Rawi tentang Hasya.
"Hasya anak pertama," gumam Tara seraya memandang langit-langit kamar kosannya.
Berarti Hasya punya adik. Namun, yang jadi pertanyaan Tara selanjutnya: adik Hasya, tuh, cewek atau cowok. Kalau adik Hasya adalah cowok, rasanya mustahil Hasya bisa blak-blakkan bertanya soal pembalut padanya. Kakak Tara saja alergi banget perkara pembalut doang.
Atau, pernah punya pengalaman pas sama Rawi?
Sekonyong-konyong pikiran itu menyelip di benak Tara. Hal itu cukup masuk akal mengingat Rawi bilang pernah pacaran sama Hasya. Tapi, Rawi kan tipe yang kelewatan mandiri. Srikandi. Tipe yang kemungkinan besar untuk masalah remeh begitu tidak sampai ngedrama lebay.
Refleks, Tara mengusap wajah frustrasi. Penasaran juga, tapi kadung malu kalau mau langsung bertanya kepada Hasya. Tara beruntung karena diselamatkan oleh Sabtu dan Minggu. Dia tidak akan bertemu Hasya pada akhir pekan begini. Entah gimana jadinya kalau Tara mesti bertemu lelaki itu di kantor. Rasanya Tara tak sanggup lagi menatap lelaki itu. Untuk pertama kalinya, Tara berharap invisible cloak-nya Harry Potter bisa dibeli dari e-commerce.
Tiba-tiba pintu kamar kosan Tara diketuk.
"Mbak Tara, ada tukang paket!" Suara berat Pak Yoyo, penjaga kosan Tara, terdengar. "Mbak?"
Otomatis, Tara bangkit dari kasur dan membuka pintu. Dia melihat Pak Yoyo yang berdiri tak jauh dari pintu kamarnya. Perawakan pria itu mirip bapak-bapak pada umumnya. Tubuhnya agak gempal. Rambutnya tipis mulai dipenuhi uban. Keningnya keriput karena dimakan usia. Tubuhnya yang setinggi Tara agak bungkuk dibalut kemeja garis-garis yang warnanya sudah pudar dan celana pantalon.
"Belanja lagi ya, Mbak?" tebak Pak Yoyo nyengir. Gigi bagian depannya agak berjarak.
Tara terkekeh dan menjepit asal rambut, siap-siap mengambil paketnya. "Iya, Pak. Kurirnya di depan ya?"
"Iya, tuh. Lagi ngobrol sama istri. Saya mau goreng pisang goreng dulu."
Mau tak mau, Tara tertawa. Tanpa berlama-lama lagi, dia bergegas menuju teras kosan. Baru saja mencapai teras, langkahnya sontak terhenti. Matanya membeliak ke arah lelaki yang sedang mengobrol dengan istri Pak Yoyo.
"Eh, Mbak Tara!" Bu Yoyo yang menyadari keberadaan Tara. Wanita itu semringah lebar. "Ibu kira tukang paket, ternyata temen kantor Mbak Tara," jelasnya menunjuk lelaki di sebelahnya lalu kembali menatap sosok itu. "Maaf ya, Mas Hasya. Bener lho, Ibu kirain kurir. Maklum aja, Mbak Tara sering belanja, kan. Jadi pas Mas bilang nyebut namanya, ya saya kira kurir."
Tawa Hasya berderai. "Santai aja, Bu. Udah biasa, kok."
Tangan Tara refleks menggaruk kepalanya yang tak gatal hingga cepolnya berantakan. Pemandangan apa yang terjadi di depannya sekarang? Kenapa ada Hasya di kosannya? Kenapa juga istrinya Pak Yoyo malah asyik mengobrol dengan Hasya seolah mereka teman lama yang sekian ratus tahun tak bertemu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at Risk
ChickLitTara harus menemukan calon suaminya sebelum ulang tahunnya yang ke-31. Padahal Tara telanjur nyaman dengan Hasya, teman kantornya. Sementara, orangtua Tara maupun Hasya menentang hubungan mereka. [Spin off Love in Credit] Publish date: 23 Feb 24