Risk 03

689 126 12
                                        

Tara tahu mamanya tidak bakal berhenti menjodoh-jodohkannya. Sejak ulang tahunnya ke-30, bukan hanya sekali mamanya mendesak Tara perkara pernikahan. Maklum saja, mamanya masih percaya perempuan mestinya menikah usia 25. Syukur-syukur, kalau bisa pas selawe.

Sejujurnya itulah bikin Tara terusik. Mamanya masih terlalu bangga dengan pencapaian masa lalunya, mentang-mentang wanita itu menikah pada usia yang dianggap “pas”. Sementara di usia yang sama pada zaman Tara, dia masih sibuk bergumul dengan revisian skripsi.

Mas Cipta, kakak Tara, yang usianya mau 36 tahun ini saja masih santai-santai dengan status lajangnya. Tidak ada sejarahnya Mama merecoki Mas Cipta dengan urusan jodoh, apalagi sampai mengurusi kencan buta segala. Padahal bisa saja Mas Cipta duluan yang direcoki daripada kelamaan jadi bujang lapuk, kan. Sementara Tara? Minimal dalam satu minggu, mamanya pasti bertanya tentang progres statusnya yang (tentu saja) masih gitu-gitu saja.

Lantas, Tara mengembuskan napas berat.

Status jomlo kan tidak bakal berubah dalam kurun waktu seminggu. Apalagi Tara kerja selama lima hari full, tanpa hitung lembur. Sampai kosan sudah pasti tepar. Nyari jodoh di sela-sela makan siang juga tidak serta-merta langsung dapat. Memangnya dikira dapat jodoh segampang manggil tukang sayur yang sering lewat depan rumah?

Begitu melihat Romo di altar membentangkan tangan, Tara otomatis beranjak dari kursi. Dia coba menepis kegelisahan dalam otaknya dan membiarkan Romo di depan sana memberikannya berkat mingguan.

Minimal, agar cukup kuat untuk menghadapi tingkah Mama nanti.

“... dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus…”

“Amin.” Tara mengucap serentak dengan umat-umat yang lain seraya membuat tanda salib.

Kalau di Gereja tempat orangtuanya biasa pergi, pasti banyak orang yang bertegur sapa dengannya. Maklum saja, Tara dan keluarganya memang tinggal di sana dari lama. Tara juga selama masa sekolah berada di sekolah yang itu-itu melulu, alias tidak pernah pindah-pindah. Alhasil, ketemunya teman-teman sekolahnya melulu.

Tapi tidak di Katedral ini. Tara nyaris tak mengenali orang-orang di situ walau beribadah tiap minggu.

Belum lama keluar Katedral, mata Tara sudah menangkap sosok tak asing di antara kerumunan orang. Spontan saja, dia berderap cepat menghampiri sosok itu.

“Om Aryudha?”

Lelaki itu menoleh. “Tara?”

Seulas senyum sontak terulas di bibir Tara. “Hai, Om!” sapanya.

“Masih ya panggil ‘Om’-nya?” Yudha geleng-geleng sambil tersenyum simpul.

Tara terbahak-bahak. Diam-diam matanya mengamati penampilan Yudha. Lelaki itu tampak classy dengan kemeja ijo lumut dipadu celana khaki dan sepatu cokelat terang. Waktu bertemu Yudha tempo hari juga penampilannya mirip-mirip begini. Lelaki itu kelihatannya sering memadupadankan warna pakaian klasik. Anehnya, penampilan itu malah cocok saja pada Yudha.

Entah karena tampang Yudha sudah cocok jadi om-om bergaya retro klasik atau karena prinsip orang ganteng mah pakai apa saja tetap ganteng dan cocok. Dugaan Tara, lelaki di hadapannya masuk kategori kedua.

“Sendirian?” tanya Yudha.

“Yap. Om sendirian juga?” angguk Tara.

“Iya. Tadi kamu duduk mana?”

Tara nyengir. “Agak belakang dikit, sih. Kamu duduk di depan, ya?”

“Nggak. Aku juga agak ke belakang. Masa sih, kamu agak di belakang? Kok, aku nggak lihat kamu?”

Love at RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang