Risk 12

351 60 13
                                    

Mas Cipta: sori ya, Ra. Mas nggak bisa bantu apa-apa. Paling, bantu doa yang terbaik aja.

Mas Cipta: mungkin doa yang terbaik emang kenalin seseorang ke Mama.

Kalau saja kakaknya ada di hadapannya sekarang, Tara ingin sekali menyambitnya dengan folder.

Laki-laki itu sangat tidak membantu. Bisa-bisanya ngomong kenalin seseorang ke ibunya segampang itu. Memangnya ibu mereka mau dikenalkan sama orang random begitu saja?

Lantas, Tara sengaja membalik ponsel di atas meja. Matanya memejam. Pikirannya kusut.

Ternyata lebih mumet menghadapi ibunya sendiri daripada keluhan nasabah.

Gimana bisa mengenalkan calon suami sebelum usianya 31? Kalau dihitung-hitung ulangtahunnya tinggal kurang dari satu bulan. Sementara ini perkara calon teman seumur hidup—yang artinya dipilih bukan asal cap-cip-cup belalang kuncup.

"Mbak?" Panggilan dari anggota timnya mengagetkan Tara.

Kepala Tara otomatis terangkat dan seketika mendapati timnya sedang terbingung-bingung ke arahnya. Refleks, Tara berdeham.

"Sori, tadi sampai mana?" Tara berusaha mengingat-ingat permasalahan yang sedang dikeluhkan timnya. Keningnya berkerut. "Kredit Pak Jusuf ya? Udah dicoba hubungi lagi, Ris?" tanyanya menatap salah satu anggota timnya.

"Ditelepon, Mbak?" Riris memastikan. Nadanya takut-takut.

Lantas, Tara menghela napas. Tatapannya mengarah kepada anggota timnya yang lain. "Guys, ada yang bisa bantu atau dampingin Riris telepon nasabah?" tanyanya yang kemudian segera disanggupi beberapa timnya. Kepala Tara mengangguk sekali. "Oke, kalo gitu update Pak Jusuf saya tunggu sampe nanti sore. Maksimal besok, deh. Bisa, kan?"

"Bisa, Mbak." Timnya merespons kompak.

"Sip. Terus, Ganda. Kamu kapan site visit?"

"Mbak kapan available?

"Kamis. Kamu pastikan nasabahnya juga bisa."

Tak lama kemudian, ponsel Tara di meja bergetar singkat. Sementara anggota timnya diskusi, Tara meraih ponselnya dan membaca notifikasi yang baru saja masuk.

Aryudha Praditya: Ta, aku di GI.

Otomatis mata Tara berkedip cepat. Memastikan penglihatannya tidak salah.

Meski begitu, kedua jempol Tara bergerak cepat membalas pesan Yudha.

Tara Prameswari: salah kirim ya?

Aryudha Praditya: ?

Tara Prameswari: ??

Aryudha Praditya: ???

Tara Prameswari: Om, aku masih meeting nih!

Aryudha Praditya: kabarin kalo udah kelar.

Merasa tak ada kewajiban langsung balas, Tara segera mengedarkan pandangan ke timnya lagi. Lalu, dia melirik jam di pergelangan tangan.

"Ada yang masih perlu dibahas lagi, guys? Kalo nggak ada kita bisa langsung makan siang, nih," kata Tara.

"Saya sih nggak, Mbak." Ganda menggeleng sambil nyengir tanpa dosa.

Tara berdecak. Tapi bukan kesal. Buat apalah kesal? Ganda salah satu pentolan tim Tara. Kerjaannya beres. Performa juga oke. Plus, proposalnya juga paling rapi. Otomatis tidak ada alasan buat kesal kepada laki-laki itu, kan.

Ucapan Ganda kemudian diikuti oleh tim yang lain. Tara pun segera mengakhiri weekly meeting siang itu. Tara mendekap folder sambil membuka kembali ruang obrolannya dengan Yudha.

Love at RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang