Risk 15

303 51 31
                                    

Kalau latihan jadi istrinya cuma bikin bekal, Tara cincay. Masalahnya, status istri itu tidak bakal tercipta kalau tidak ada suaminya.

"Kayak tuh orang mau aja jadi suami gue," gerutu Tara senyam-senyum sendiri.

Sebenarnya, Tara bukan yang demen bawa bekal. Boro-boro mikir bawa, buat nyiapinnya saja tak pernah terbersit dalam otaknya. Ribet juga. Toh, sekarang pilihan delivery sudah seabrek-abrek.

Namun karena telanjur mengiyakan saran Hasya, mau tak mau Tara pinjam Tupperware milik ibu kosannya. Tetapi Tara mesti menjaga kotak bekal itu dengan segenap nyawa atau bisa-bisa dikeluarkan dari kosannya.

"Jangan nilai tampilannya, tapi nilai niat dan usahanya." Tara meletakkan sebuah Tupperware di meja Hasya setibanya di kantor pagi itu.

"Ini apaan?" balas Hasya bingung.

"Kotak suara!" sungut Tara mendadak keki sendiri. "Ya bekal namanya, Hasya. Katanya kemarin bikinin kamu bekal buat latihan jadi istri, kan? There you go!"

Hasya mengekeh. Kepalanya menggeleng seraya membuka tutup kotak bekalnya. Tawanya seketika berderai. "Ya Allah, pinggirannya kenapa gelap gini, Ra?"

Mata Tara refleks memejam.

Nah, itu alasannya pakai intro dulu. Tampilan telur ceplok buatannya tidak secakep rencananya. Pinggirannya gosong. Api yang disetel Tara sebenarnya tidak gede banget, tetapi pancinya telanjur panas. Yasalam.

"Kan, aku bilang jangan nilai tampilannya, Ganteng. Tapi nilai niat sama usahanya!" ucap Tara sengaja dengan volume rendah. "Aku udah bela-belain bikin nasi subuh-subuh, terus nyiapin semuanya, lho!"

"Bagus, kan? Achievement unlocked." Hasya malah kelihatan puas ngeledek. "Ngomong-ngomong, sendoknya mana? Kamu nggak bawain aku sendok?"

"Emang kamu nggak punya sendok sendiri?"

"Astagfirullah. Kamu pernah nonton konten nyiapin bekal nggak, sih? Aku jadi penasaran."

"Nggak." Tara sontak menggeleng.

"Mama kamu nggak bikin bekal?"

"Buat apaan? Kan, ada ART."

"Wah, beneran Princess," decak Hasya sembari mengeluarkan sepasang sendok dari tas. "Aku makan, ya."

"Kamu mau makan sekarang?"

"Besok!" tukas Hasya. "Yaiyalah sekarang. Mau kapan? Mumpung belum sarapan."

"Sejak kapan kamu nggak sarapan sebelum berangkat?" Tara menatap Hasya dengan heran. "Terus, kamu juga jalan kaki dari apartemen? Nggak pake sarapan?"

Hasya manggut-manggut. "Kesiangan."

"Kesiangan apanya? Ini baru mau setengah sembilan, Sya!"

"Buat aku udah kesiangan."

Otomatis kening Tara mengernyit.

Mana ada yang bilang kesiangan tapi menjadi penghuni pertama di ruangan begini?

"Jangan lupa ucap Bismillah." Tara spontan mengingatkan begitu melihat Hasya hendak menyuap sendok. Senyum di bibirnya melebar ketika menyadari kekagetan Hasya. "Kenapa? Mulai naksir ya?"

"Kamu lama-lama ngeri, Ra. Kayaknya kamu hapal banget," ucap Hasya horor.

"Kebiasaan lihat kamu," Tara mengibaskan tangan dengan santai. "Makanya, hapal."

"Ya emang, sih. Kaget aja kamu ngingetin gitu."

Hidung Tara kembang-kempis. Alisnya dinaik-turunkan. "Tapi, suka kan diingetin gitu?"

Love at RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang