"Dikirain lagi checkout barang, ternyata malah buka LinkedIn!"
Tara refleks mendelik dan berdecak ke arah laki-laki di sebelahnya. "Kepo, ya!" serunya tanpa bisa menahan seringaian tercetak di bibirnya.
"Lagian, serius banget! Dikirain ada sesuatu!" ejek Hasya.
"Ini kan sesuatu. Demi masa depanku!" Tara membela diri. Setengah serius, setengah bercanda.
Hasya terbahak-bahak. Kepalanya geleng-geleng. "Tumben kamu buka LinkedIn. Ada apa? Kamu mau resign?"
"Kalo ada kantor yang bisa ngasih benefit lebih dari kantor yang sekarang, aku nggak nolak," ucap Tara sambil melempar cengiran lebar. Matanya sengaja dikedip-kedipkan.
"Ck, kamu mau digaji segede apapun juga bisa sisa goceng mulu," decak Hasya.
"Kamu juga digaji segede apapun nggak bakal beli kendaraan buat mobilitas, kan?"
"Nggak, lah. Apartemen aku deket ke kantor. Kalo capek, naik TransJakarta atau MRT aja."
"Kalo tempatnya jauh gimana?"
"Sejauh-jauhnya tempat, naik taksi online atau ojol kan masih bisa, Ra. Gini, bukannya aku anti beli kendaraan. Tapi, aku nggak melihatnya sebagai kebutuhan buat sejauh ini. Jadi, lebih baik uangnya dialokasikan ke hal lain."
"Kayak apa? Kamu aja jarang beli baju atau celana. Kalo nggak sampai warnanya pudar atau bolong, kamu nggak bakal belanja. Biaya transportasi kamu praktis nol karena jalan kaki. Oke, naik MRT sama TransJakarta. Itu frekuensinya seberapa sering? Kamu bisa hitung pake jari."
"Kalo bareng kamu, kan, naik MRT sama TransJakarta. Boros banget, padahal bisa jalan kaki. Sehat tau, Ra!"
Otomatis Tara mendecak lagi. Tangannya terulur untuk melayangkan cubitan ke pinggang Hasya. Ringisan terulas di bibir laki-laki itu.
"Sehat apanya? Kaki aku bisa gempor dong, Ganteng!" ejek Tara serta-merta. "Kamu enak pake sepatu kets. Aku pake Charles & Keith!"
"Makanya ganti sepatu dong, Cantik!" balas Hasya tak kalah. Senyum jailnya terbit. "Kamu bisa beli tas dan sepatu cantik yang mahal gitu, masa beli sepatu buat olahraga atau running nggak mampu?"
"Aku kan udah punya sepatu buat dipake di gym!"
"Ya udah pake itu aja buat daily. Pas ketemu bos atau nasabah baru ganti."
"Nggak cocok sama outfit aku."
"Astagfirullah!"
"Eh, balik lagi ke topik awal. Alokasi uangnya ke hal lain. Oke. Fine. Tapi kamu alokasi ke mana? Sepatu? Palingan kalo beli sepatu, kamu nggak beli semacam Skechers atau Asics juga."
"Yaiyalah! Lagian, sekarang merek lokal yang bagus-bagus udah banyak juga, kok."
"Terus, kulkas di apartemen kamu juga nggak banyak isinya," celoteh Tara. "Bayar token, semua tetek-bengek sewa apartemen, tapi itu kayaknya nggak nguras setengah gaji kamu sekarang atau kalo ditawarin yang lebih baik."
"Ya emang nggak, sih," aku Hasya pelan. "Tapi aku punya tanggungan, Ra. Aku harus bayar kuliah adik aku."
Tara langsung tercenung.
"Orangtua aku pensiunan guru. Nggak mungkin ngandelin uang pensiun mereka doang buat bayar kuliah adik aku. Nggak bakal cukup," cerita Hasya. "Yaelah, boro-boro ngandelin uang pensiun doang. Waktu aku masih kuliah aja mereka mesti bolak-balik jual perhiasan buat nambah-nambahin duit... eh, Ra? Kamu nangis?"
Tara cepat-cepat berpaling ke tempat lain sambil menyeka matanya yang mulai berkaca-kaca. Hatinya ditinju rasa bersalah karena penilaian sotoy yang dilemparnya kepada Hasya beberapa saat lalu.
![](https://img.wattpad.com/cover/363573304-288-k893922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at Risk
Chick-LitTara harus menemukan calon suaminya sebelum ulang tahunnya yang ke-31. Padahal Tara telanjur nyaman dengan Hasya, teman kantornya. Sementara, orangtua Tara maupun Hasya menentang hubungan mereka. [Spin off Love in Credit] Publish date: 23 Feb 24