Risk 04

659 106 12
                                        

“Beneran aku nggak perlu turun buat temenin kamu? Minta maaf sama orangtua kamu karena malah telat nganterin kamu gini.”

Tara menyudahi touch-up lipstik pada bibirnya. Sembari melepas sabuk keselamatan, Tara melempar senyum kepada lelaki di sampingnya.

“Santai. Mamaku santai kok orangnya,” kilah Tara menenangkan.

Oke, barusan itu bohong. Dari tadi ponsel di tas Tara sudah bergetar panjang beberapa kali. Sudah pasti mamanya bolak-balik menerornya dan bertanya-tanya soal keberadaannya. Tapi, Yudha tak perlu tahu.

Yah, Tara memang telat gara-gara keasyikan makan bakmi. Telat banget, kalau boleh jujur. Meski begitu, dia tak merasa ada penyesalan sama sekali. Kalau saja tadi Yudha tidak mengingatkan soal janji dengan kedua orangtuanya, mungkin Tara sengaja berlama-lama. Biar tidak perlu bertemu keluarganya sekalian.

“Serius, kamu?” Yudha memastikan sekali lagi. “Kamu emang santai banget, Ta. Tapi…”

“Udah, ah!” Mata Tara melebar, tapi tak bisa menahan senyum di bibir. “Kamu bawel juga kalo lagi senewen ya?”

“Sungkan, abisnya. Aku yang ngajak kamu ngebakmi tadi sampai kita lupa waktu.”

Mendengar itu, Tara sedikit mengubah posisi duduknya hingga menghadap Yudha. “Ya, berarti kita enjoy, kan?” tanyanya.

Yudha tak merespons.

“Aku tau kamu enjoy banget makan bakminya sampai susah banget berhenti nyeruput kuah sama bakminya. We both are having good times, Yud. So, don’t regret it.”

Pelan-pelan sudut bibir Yudha terangkat. “Aku nggak nyesel ngebakmi sama kamu.”

“Sip. Gitu, dong! Soalnya, aku juga nggak nyesel,” cengir Tara puas. Toh, bakminya juga enak.

“Kamu nggak nyesel pasti karena ditraktir, kan?”

Otomatis Tara terkikik. “Salah satunya,” akunya tanpa malu-malu. Begitu mobil Yudha berhenti di bagian drop off, dia menatap Yudha sekali lagi. Sepasang matanya berbinar-binar. “Makasih traktirannya. Makasih juga udah dianterin ke sini.”

“Sama-sama. Thank you juga udah mau ngebakmi bareng.”

Tara kemudian keluar dari mobil Yudha. Sebelum dia benar-benar menutup pintu, tiba-tiba dia mendengar lelaki itu memanggil namanya. Refleks, kepalanya menoleh kembali ke dalam mobil.

Happy Sunday, Ta,” kata Yudha dengan senyum lesung pipinya.

Mau tak mau, Tara terkekeh. Kepalanya mengangguk. “Happy Sunday for you too, Bapak Aryudha.”

Helaan napas Yudha terdengar. Kepalanya menggeleng. “Nggak panggil ‘Om’, jadinya ‘Bapak’ ya?”

Tara tertawa. “Hati-hati nyetirnya.”

Lantas, Tara memasuki mal dengan langkah cepat. Tanpa mengurangi kecepatan langkah kakinya, tangannya merogoh tas dan mengeluarkan ponsel. Napasnya tercekat begitu melihat puluhan missed calls dari ibunya, beberapa dari kakak, serta ayahnya. Dia pun membuka ruang obrolan dengan ibunya dan melihat rentetan teror pesan yang mempertanyakan keberadaannya.

Entah kebetulan atau timing yang pas, ponsel di tangan Tara bergetar. Nama mamanya tertera pada layarnya. Sambil menarik napas panjang, Tara memberanikan diri mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, Mam?”

“Ya ampun, akhirnya diangkat juga! Tara Prameswari!” seru mamanya nyaring di ujung sana.

Refleks, Tara menjauhkan ponsel dan mengusap-ngusap telinganya yang mendadak agak berdenging. Dia mendesis seraya menatap keki ke layar ponselnya.

“Mama udah coba telepon dari tadi! Ke Senayan City aja lama banget. Kamu nyangkut dulu di DC Cakung?”

Love at RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang