Chapter 3

53 15 0
                                    

Keramaian itu seakan sirna, suara gemuruh, langkah kaki, atau pekikan heran sepertinya tak akan mengusik.

Aku masih betah, membaui aromanya, menelusup kan wajahku pada bahunya. Surai yang biasanya menggelitik tak ku rasakan lagi- tapi aku bahkan tidak keberatan, aroma segar menenangkan miliknya secara ajaib berubah menjadi aroma bayi. Saat aku sadar hal itu, aku hanya bisa tersenyum. Beomgyu yang ada dipelukanku hari ini, adalah Beomgyu yang berumur Enam belas, bukan Beomgyu yang berumur Dua puluh lima.

Dan tiba-tiba aku menjadi begitu emosianal, aku tiba-tiba saja menangis. Aku benar-benar rindu, dan ini menyakitkan. Aku tidak ingin terbangun.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Suara kecil itu masuk dalam rungu ku, sudah barang tentu amat berbeda dengan suara Beomgyu yang biasanya, tetapi aku masih tetap menyukainya. Aku hanya semakin terisak, memeluknya semakin erat, abai pada suara pengeras yang menyuruh semua anak baru untuk berkumpul.

"Beomgyu?" Suara tanya dari belakang kami bahkan kuhiraukan, lalu aku bisa merasakan si kecil menggeleng.

"Kalau gitu gue duluan ya, nanti gue sisain tempat buat lo- jangan lama-lama, nanti dihukum lagi"

Itu kalimat terakhirnya, orang yang ku fikir teman Beomgyu itu pada akhirnya melangkah pergi. Meniggalkan kami dalam posisi yang masih sama.

"Hey, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu- tapi melihat dari seragam yang kamu kenakan, kamu pasti kakak kelas. Aku harus berkumpul jika tidak ingin kena masalah, ingin mengatakan sesuatu? Aku harus pergi" Ucapan panjang itu membuatku melepas pelukanku. Memberi jarak meski tidak terlalu jauh, aku masih memegang bahunya. Lalu tanganku secara otomatis mampir pada wajahnya. Membelainya seperti kebiasaan.

"Aku merindukanmu"

"Huh?"

"Aku merindukanmu"

"Kamu terlihat kacau kak, jangan menangis"

Pada akhirnya Beomgyu mengambil tanganku yang sedari tadi bermain di wajahnya, menggenggamnya lembut.

"Nanti saat jam istirahat, temui aku ditaman belakang. Sekarang aku benar-benar harus berkumpul"

Dia memberikan janji dengan sorot mata teduhnya. Aku ingin menggeleng, bagaimana jika nanti aku bangun? Bagaimana jika aku tidak bisa menunggu sampai jam istirahat?

"Kita bicara nanti" Beomgyu pada akhirnya melepas genggaman tangan kami, lalu pergi berlari membaur dengan keramaian.

.

.

.

.

.

Tapi bahkan sampai jam menunjukan angka Sebelas aku tidak merasa akan terbangun. Aku masih berharap, masih sangat berharap.

"Sumpah bin, gue cariin ke mana-mana lo malah mojok disini, lo bolos? Terus yang gue minta tolong lo kerjain gak?"

Aku sepertinya banyak melamun hari ini, dengan malas kukembalikan kamera miliknya. Menggeleng dengan raut bosan yang tidak sama sekali kututupi.

"Sumpah?! Gue berharap banyak banget sama lo bin, kirain bolos karena lo mau bantu gue!"

"Diem Jun, jangan ganggu gue hari ini, cukup didunia nyata, dimimpi lo jauh-jauh deh dari gue"

Kata-kata ku barusan berhasil dihadiahi geplakan olehnya. Ia mendecak keras.

"Masih nglindur lo bin! Matahari udah seterik ini, gak ngerti lagi gue- udahlah gue pergi aja, entar kita ketemu lagi kalo lo udah waras" Sosok jangkung nya akhirnya pergi, aku hanya mengedikan bahuku. Netra ku setia menatap kearah lapangan, masih mencari sosok kecil yang belum terlalu familiar untukku. Beomgyu dengan tubuh kecilnya itu begitu menggemaskan. Meskipun dulu dia kecil, tapi tentu saja tidak sekecil hari ini.

Aku masih sibuk menjelajah dengan mata, sampai suara pengeras menyuruh mereka istirahat terdengar. Barisan dengan seragam SMP itu pada akhirnya membubarkan diri.

Koridor yang tadinya sepi menjadi begitu ramai, langkah kaki mereka seirama menuju kantin.

Aku berjalan berlawanan arah, dengan sebotol minuman dan roti kesukaannya. Menuju area taman belakang yang sesungguhnya tidak terurus itu.

Bangku panjang dengan banyak daun berguguran menjadi tujuan, aku terduduk menunggu. Berkali-kali melongok pada tembok, menunggu kehadiran kaki-kaki kecil itu.

Suara langkah mendekat membuat aku mendongak, disuguhkan raut lugunya, keringat mengalir di pelipisnya, juga deru nafas pertanda dia baru saja berlari. Pandangan kami terkunci.

Lalu suara kecilnya menjadi yang pertama menyapa rungu.

"Maaf, aku hampir lupa, apa kamu menunggu lama?"

Aku tersenyum, bahkan jika itu bertahun-tahun aku sama sekali tidak keberatan. Pada nyatanya sosok kecil ini memang membuatku menunggu sekian tahun. Dengan sepi yang menyesakan. Tapi meskipun begitu, aku tetap dengan pendirian ku. Menjalani hidup, dengan si mati yang setia kutunggu.

Aku mengulurkan botol minuman dan roti itu padanya, Beomgyu menerima dengan kikuk. Ia mendongak hanya untuk menatap.

"Aku tahu kamu memang selalu menawan, rasanya tidak adil karena aku tidak mengenalmu saat itu. Tapi ini juga tidak masalah, kamu terlihat begitu nyata"

"Huh?"

Kebingungan serta merta mengambil alih, aku hanya menggeleng maklum. Menarik tangan kecilnya menyuruhnya untuk duduk.

Aku mengeluarkan sapu tangan dari sakuku, lalu mengelap keringatnya yang menetes.

"Apa lelah? Cuacanya sangat panas, kulitmu jadi coklat. Ingin sesuatu? Katakan saja- itu akan kamu miliki"

"Tidak masalah, ini sudah cukup. Terimakasih"

Aku mengangguk, lalu beralih mengambil duduk disampingnya.

"Makan"

Beomgyu mengangguk kaku, dia membuka bungkusan itu. Lalu mulai melahap roti itu, aku senang bisa melihat pemandangan ini lagi, lebih lama daripada biasanya.

"Aku merindukanmu" Kata-kata barusan membuatnya menatapku, mata bulatnya penuh tanya yang begitu menggemaskan.

"Kamu aneh"

Dan aku tertawa mendengarnya. Dia masih Beomgyu yang biasanya- kata aneh itu, begitu melegakan.

"Choi Soobin, namaku Soobin"

Bahkan meski mimpi ini terus berulang, aku akan tetap melangkah menghampirimu. Choi Beomgyu.

YOUR NAME - SOOGYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang