03

11.4K 646 2
                                    

Bunyi jarum jam yang bergerak melewati angka delapan menyita perhatian Hanara. Gadis itu mendesah pelan, ia melempar kain lap ke meja dengan wajah gusar.

Pikirannya tidak fokus sama sekali selama bekerja. Otaknya terus memutar kejadian tadi yang menganggu aktivitasnya.

Bagaimana bisa lelaki itu mengatakan demikian di kondisinya yang kacau? Hanara bukan tipikal orang yang akan mengurusi hidup orang lain. Tetapi lelaki itu benar-benar mengusik pikirannya.

Setelah memenangkan lelaki itu dan memberinya minum. Zalion hanya diam tak berkutik, bahkan tak mengatakan sepatah katapun padanya. Ia hanya meneguk sedikit minuman yang di belikan lalu bangkit dan pergi tanpa berkata apapun.

Hal yang membuat Hanara merasa risau sendirian.

Bagaimana jika lelaki itu sedang dalam bahaya?

Apa dia memang memiliki gangguan mental?

Atau ... Seseorang tengah menyakitinya?

Berbagai pertanyaan meluncur di otaknya, memenuhi isi kepala Hanara hingga gadis itu mendecak dan membalik badan untuk mengambil secangkir air.

"Pulang cepet aja, Na. Toko bentar lagi mau ibu tutup. Ada keperluan."

Bu Mirna yang tengah berjalan menuju kasir bergerak menepuk Hanara yang melamun. Gadis itu menoleh, menatap pergerakan wanita berumur 40 tahunan itu yang tengah memasukan barang ke dalam tas.

"Masih ada satu jam lagi padahal." Hanara melirik jam di dinding, lalu kembali menatap wanita di depannya yang mendongak.

"Bukannya seneng pulang lebih cepet, lagian kamu kan butuh istirahat." Mirna menggeleng sambil terkekeh.

Hanara menggigit pipi dalamnya pelan, menatap lurus tanpa memasang ekspresi apapun.

"Bu. pernah kena serangan panik ga?" Tiba-tiba ia bertanya demikian.

Mirna menaikkan sebelah alisnya. "Enggak, tuh. Memang kenapa?" Ia bergerak melewati Hanara yang menghela nafas.

"Aku tadi pulang sekolah ketemu murid yang histeris di jalan, dia kaya panik banget gitu, bahkan sampe teriak ketakutan. Penyebabnya kurang jelas." Hanara berjalan mengekori wanita pemilik Roti tempat ia bekerja.

"Cewek atau cowok?" Mirna membalik badan setelah meraih kopi yang ia taruh di atas meja beberapa saat lalu.

"Cowok."

Mirna mengerutkan alis.

"Ah, dulu waktu masih di desa ibu punya tetangga yang anaknya suka tantrum kalo malem. Katanya sih trauma sama kegelapan gitu, jadi tiap hari mulai gelap dia suka teriak ketakutan. Mungkin temen kamu juga punya sejenis trauma?"

***

"Makanannya, Den." Wanita yang memiliki  kerutan di wajah bergerak menaruh piring di atas meja.

Zalion menatapnya sebentar, tak memiliki minat untuk melahap apapun ke dalam mulutnya. Tetapi karena sudah di siapkan, mau tak mau ia tetap menarik piring itu untuk mendekat dan memasukan makanan tersebut ke dalam mulut dengan perlahan.

Matanya menatap lurus ke depan. Masih dengan kunyahan yang bergerak pelan, ia menoleh ke arah pembantu yang tengah membereskan cucian piring.

"Bibi bisa pergi kalo mau. Sejauh mungkin." Zalion menaruh sendok di piring, beralih menarik segelas air dan menenggak beberapa tegukan.

Pembantu yang usianya mencapai 50 tahunan itu menghentikan tangannya yang tengah mencuci piring. Matanya menatap air yang mengalir dari keran. Berdiam sebentar, wanita paruh baya itu kembali melanjutkan pekerjaannya.

SCAREDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang