19

3.6K 360 25
                                    

Geseran pada buku yang bersampingan dengan sebuah ballpoint membuat benda tersebut menggelinding dan jatuh ke lantai begitu saja. Laudra sebagai pelaku menyadari hal itu, tetapi ia lebih memilih memperhatikan sahabatnya yang tidak kunjung buka mulut sejak pelajaran awal di mulai.

"Serius gak mau cerita?" tanyanya sedikit geram.

Hanara tetap menggeleng dengan pendiriannya. Jadi, ia memilih memakan sisa es batu yang mulai mencair sejak tiga menit yang lalu. Sedangkan Laudra mendesah pelan, bingung harus melakukan apa lagi agar Hanara lebih terbuka untuknya.

"Nanti gue coba cariin lo loker. Kalo gak salah sih temen bokap gue punya usaha Cafe gitu." Laudra berkata demikian.

"Gak usah, Dra. Mending lo urus noh wajah, tumben banget sekarang butek." Hanara mengalihkan pembicaraan lain, ia tidak terlalu mau membahas soal kehidupannya.

Mendengar itu, Laudra memutar bola matanya jengah. Benar juga, sejak keduanya mulai renggang Laudra menjadi tak seheboh dulu, biasanya ia akan rempong untuk merias wajah. Tetapi untuk sekarang, ia merasa kepribadian hebohnya mulai berkurang.

"Semenjak jarang sama lo males banget buat ngapa-ngapain."

"Biasanya lo paling heboh soal apapun meskipun gak sama gue." Hanara terkekeh pelan, sedikit merasa bersalah juga karena hubungan keduanya tak sedekat dulu.

Di detik berikutnya, Laudra hanya diam memperhatikan wajah Hanara kembali dengan teliti, mencoba menebak isi pikiran gadis itu.

"Tinggal bareng gue, yuk?" ajaknya, entah untuk yang berapa kali ia mengatakan hal barusan.

"Gak mau."

"Kenapa, sih? Lagian lo juga gak makan nasi satu gentong sehari, gak bakal ngerepotin, Na." ujar Laudra sedikit geram, memang sesusah itu kah menerima ajakannya?

"Gak mau, titik." kekeuh Hanara yang mungkin akan masih tetap pada pendiriannya itu.

Bukannya apa, jujur Hanara merasa kesulitan menghadapinya sendiri, tapi ia tetap harus menjalani hidupnya tanpa campur tangan orang lain. Ia berfikir bahwa jika orang lain membantunya, maka sebuah harapan akan tumbuh dan ia akan mengharap lebih.

"Terus kontrakan lo gimana? Lo mau jadi gembel?"

"Gue abis gade motor." Hanara berujar dengan wajah datar, sambil sedikit menghela nafas menatap jendela kelas yang agak kotor.

"Gila lo, hah?!" Laudra mengambil buku di meja kemudian memukulnya pada kepala Hanara, membuat gadis itu mengaduh dengan tatapan tidak terima.

"Apa, sih? Ya lo pikir aja buset gue duit dimana kalo gak kerja? Kerja part time gak banyak, Dra." Hanara akhirnya menghela nafas lelah, memasang wajah muram yang sedari tadi ia sembunyikan.

Seketika Laudra terdiam. "Gue kan udah bilang ayo hidup bareng gue, bokap sama nyokap juga gak keberatan." katanya, ikut menjadi muram.

Hanara menggeleng setelah mengengkelupkan wajahnya ke dalam lipatan tangan. Ia akan sedih jika tinggal dengan orang lain, karna hal tersebut akan menyadarkan dirinya bahwa ia tidak memiliki keluarga sedikit pun.

Keduanya diam satu sama lain, sampai bell pelajaran kembali berbunyi dan mereka menghabiskan waktu selama satu jam lebih sebelum jam pulang datang.

Begitu bell kembali berbunyi yang menandakan bahwa pelajaran sepenuhnya selesai. Hanara bangkit lebih dulu sebelum Laudra.

"Gue bakal berusaha kok, janji. Gue bakal dateng ke elo kalo emang udah gabisa sendiri, tapi buat sekarang gue masih mau berusaha, Dra. Sorry kalo kesannya egois banget buat lo." Hanara menelan ludahnya pelan, mengusap bahu Laudra yang sedari tadi cemberut.

SCAREDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang