01

17.1K 935 3
                                    

Bell istirahat yang berbunyi di berbagai penjuru membuat seisi kelas heboh untuk keluar. Gadis yang saat ini tengah membenarkan cepolan di rambutnya mendelik saat mendapati tatapan tajam dari sahabatnya.

"Na, serius lo gamau?" Perkataan itu muncul dengan raut wajah yang begitu kecewa. Hanara, gadis yang saat ini selesai mencepol rambutnya hanya mengangguk mengiyakan.

"Lagian, Ra. Gue gak tertarik sama kencan buta. Lagi pula, gue gak butuh pacar." Balasan Hanara berhasil membuat sahabatnya yang bernama Laudra itu menghela nafas dengan kesal.

"Terserah lo, deh! Gue ajak yang lain aja." Laudra mengatakan hal tersebut dengan kesal, lalu bergerak bangkit dari duduk sambil menggebrak meja dan berlalu begitu saja.

Hanara menatap kepergian sahabatnya dengan tidak peduli. Lagi pula, ia tidak memiliki waktu untuk berpacaran. Hanara sibuk mencari uang dari pekerjaan paruh waktunya saat sore.

Benar, Hanara hanya perlu bersekolah hanya perlu bersekolah hingga lulus lalu mencari pekerjaan yang lebih layak untuk mengurus biaya hidupnya.

Gadis itu menghela nafas, badannya terasa pegal setelah menghabiskan malamnya untuk mengantar makanan. Ia bahkan hanya menghabiskan waktu tidurnya selama kurang dari dua jam.

Jika di pikir-pikir, sudah berapa lama ia tak tidur dengan pulas? Hanara lupa apakah ia pernah bersantai sepulang sekolah? Apakah ia pernah bermain sepulang sekolah atau menghabiskan waktunya bersama teman-teman saat libur?

Hanara tidak tahu. Sudah setahun lebih ia bersusah payah membiayai dirinya sendiri. Jika bukan karena penceraian, mungkin Hanara tidak akan berada di keadaan sulit seperti sekarang.

Gadis itu menundukan wajahnya, menatap sepatu lusuh yang sudah ia pakai selama dua tahun.

"Apa gue beli lagi aja, ya? Tapi bentar lagi juga lulus." Hanara menggaruk belakang kepalanya kebingungan. Memang, waktunya bersekolah hanya tersisa empat bulan lagi, akan sayang jika ia membeli sepatu baru untuk di pakai sebentar.

"HANARA!!!!"

Teriakan itu mengejutkan Hanara yang tengah memandangi sepatunya, ia mendongak menatap Laudra yang berdiri di ambang pintu dengan nafas tersenggal.

"Motor lo, motor lo di rusak!!"

Hanara terdiam, menatap raut wajah serius dari Laudra. Ia dalam beberapa detik termenung sebelum akhirnya berlari cepat ke area parkir.

Sial. Awalnya Hanara tidak ingin percaya. Namun, setelah ia melihat bagaimana gerombolan murid berkumpul di tempat motornya terparkir. Hanara menjadi yakin!

Gadis itu dengan segera berlari mendekat, di ikuti Laudra yang menyusulnya dengan langkah tergesa. Hanara sempat terdiam, menatap beberapa punggung yang berdiri mengelilingi motornya.

Laudra yang baru sampai pun menepuk bahu Hanara yang hanya diam saja. Biasanya, sahabatnya ini akan mengamuk jika ada orang yang menyentuh barang berharganya.

Laudra sempat bingung. Akan tetapi, ia justru ikut terdiam. Ternyata, yang ia lihat adalah kesalahpahaman. Murid-murid itu tidak memukul motor Hanara dengan tongkat, melainkan memukul seorang murid yang saat ini bersandar lemah di motor Hanara dengan babak belur!

"Bangsat!!!" Hanara menyeruak masuk ke dalam kerumunan, ia menatap satu-satu para murid yang melakukan hal tersebut.

Tempat parkir yang di gunakan untuk menyimpan motornya memang berada di area belakang yang mana jarang di datangi oleh para guru maupun banyak murid. Hanara sengaja menyimpan motornya di sana karena tidak terlalu banyak kendaraan yang terparkir.

Akan tetapi, ia tak menyangka jika tempat parkir yang ia pikir aman adalah tempat dimana anak-anak berandalan ini membully murid lain!

"Ngapain kalian, hah?" Hanara dengan wajah kesal menatap mereka dengan sorot mata yang tajam.

"Apaan, sih? Kalo mau caper jangan disini, lo salah tempat." Salah satu dari mereka menyahut nada tidak santai.

Hanara dengan kesal mendongak.

"Lo kalo mau mukulin orang lihat-lihat tempat, lah! Motor gue yang kena, nih!" Hanara menunjuk motor yang berada di sisi kanannya. Ia sempat menunduk menatap murid yang menjadi korban berandalan sekolah itu.

"Ck, untung cewek, cabut aja, dah. Udah gak asik juga." Salah satu dari mereka keluar dari kerumunan. Lalu di susul oleh yang lainnya.

"Gue laporin lo, ya!!!" Hanara berteriak dengan jengkel, ia lalu melirik korban yang saat ini terduduk lemas di samping motornya.

Kejadian seperti ini bukan sekali dua kali, para berandalan itu memang sering mengusik siapa saja yang tidak ia suka. Mau di laporkan pun mereka hanya mendapat hukuman kecil. Sebab, ketua dari berandalan itu merupakan anak dari pemilik sekolah.

"Bangun." Hanara melipat kedua tangannya, ia menatap malas pada lelaki yang saat ini memiliki banyak ruam di sekitar wajah.

"Kalo lo gak bisa ngelawan, seenggaknya berusaha buat ga kena pukul." Hanara menghela nafas, ia berjongkok untuk melihat bagaimana luka yang di dapat lelaki itu.

Netranya sempat melirik nama yang terpampang di seragamnya.

"Zalion, lo anak kelas berapa?" Hanara mendongak menatap mata lelaki itu yang terlihat sayu.

Tak ada jawaban, hanya terdengar erangan kecil yang di keluarkan oleh lelaki bernama Zalion itu. Hanara sempat mengecek beberapa ruam di wajah dan tubuhnya. Tak ada luka parah, hanya terdapat goresan kecil yang merobek dahinya, membuat darah keluar dari dahi Zalion.

"Kaki lo bisa di gerakin, gak?" Hanara kembali bertanya, kini lelaki itu menjawabnya dengan anggukan. Tak butuh berfikir lama untuk Hanara bergegas menuntun lelaki itu ke UKS.

Awalnya, ia berniat mengantar saja, lalu kembali ke dalam kelas atau kantin untuk menghabiskan waktu istirahat. Namun, petugas UKS sedang memiliki urusan, sehingga tak ada seseorang pun yang bisa mengobati lelaki itu selain Hanara.

Laudra sendiri yang tadinya ikut kini tak menampakan batang hidung, gadis itu tengah sibuk membeli makanan karena perutnya terasa lapar.

Hanara juga lapar, ia bahkan berkali-kali mengusap perutnya di hadapan Zalion. Untuk saat ini, lelaki itu hanya diam saja setelah di obati.

"Udah, ya. Udah gue obatin. Gue mau makan, ada yang mau lo titip, gak?" Hanara berkata demikian sambil memberesi peralatan P3K.

Ia kembali berdiri di hadapan Zalion yang terduduk dengan lesu. Hanara mengambil plester yang baru saja ia ambil dari laci, lalu memasangkannya dengan pelan pada dahi Zalion.

Luka lelaki itu tidak banyak, hanya memiliki beberapa ruam ringan di tubuhnya. Dia beruntung karena berandalan itu tidak memukulnya dengan brutal.

Hanara ingin melaporkan, akan tetapi ia malas berurusan dengan guru atau murid lainnya. Hanara hanya bisa melakukan pertolongan kecil, tidak lebih dari itu.

"Gue duluan, lo mending tidur aja." Hanara merapikan rambut Zalion agar bisa melihat hasil pasangan plesternya. Ia menatap lelaki itu yang hanya terdiam, keduanya saling bertatap mata untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Hanara memilih memutuskan pandangannya lalu berbalik pergi dari ruang UKS.

***

SCAREDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang