06

8.5K 602 24
                                    

Menatap gusar pada cermin kamar mandi di depannya, Zalion menahan nafas saat ketakutan kembali menyerang.

Debaran jantungnya menggila. Perlahan rasa sakit dari luka yang baru di terimanya datang bersamaan dengan sesak yang menghimpit kehidupannya.

Tidak apa ...

Ia bisa mengatasinya sejauh ini.

Ia tidak boleh goyah.

Zalion akan terus hidup seperti kata ibunya. Ia tidak akan menyakiti orang lain. Jadi, ia akan terus membiarkan siapapun menyakitinya tanpa melakukan penolakan.

Meski rasanya menyiksa.

Meski rasanya memuakkan.

Dan ... Meski ingin mati. Ia akan bertahan dengan caranya sendiri.

Ia ingin membuktikan bahwa dirinya berbeda, tidak bisa di samakan dengan orang lain dan akan terus seperti itu.

Ia tidak akan menjadi seperti Ayahnya.

Tidak akan ...

"ARGHHHH!"

Gejolak di dadanya membuncah bersamaan dengan kaca yang kembali retak setelah di ganti dua hari yang lalu. Zalion bergerak mundur sambil memegang tangan kanannya yang berdarah.

Ia tidak gila.

Ia tidak akan seperti Ayahnya.

Tapi, apakah itu akan bertahan lama?

Kedatangan gadis itu jelas memporak-porandakan pertahannya. Rasa ingin melawan, rasa ingin memberontak, dan rasa ingin menuruti setiap perkataan gadis itu.

Mengapa?

Ada apa dengan dirinya?

Ia berusaha menahan semua ini agar tidak menjadi anak yang jahat. Ia tidak boleh menyakiti siapapun.

Tapi mengapa gadis itu malah menyuruhnya untuk melawan?

Apakah akan baik-baik saja jika ia melakukan hal itu?

Tidak...

Ia akan menjadi gila.

Gadis itu ... Benar-benar membuatnya kehilangan kendali.

Hembusan nafas kasar keluar begitu saja. Zalion akhirnya memilih keluar dengan darah yang menetes pada setiap lantai yang ia langkahi. Netranya melirik ke arah kanan begitu para pelayan datang untuk membereskan kekacauan.

Sejenak ia terdiam saat tubuhnya berhasil menduduki kasur. Kepalanya menunduk menatap darah yang masih menetes dari punggung tangan. Ia kemudian melirik pelayan yang tengah mengganti kaca yang rusak.

Benar-benar seperti pajangan rumah.

Bahkan sebanyak apapun tetesan darah yang ada di lantai mereka tak peduli tentang seberapa parah lukanya. Mereka hanya perlu membereskan kekacauan lalu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Konyol.

Zalion seketika terkekeh, menyadari betapa humornya hidup yang ia jalani.

Persetan dengan kemegahan ini.

Zalion tidak pernah merasa puas. Meski pria itu selalu memberinya kecukupan dalam segi ekonomi, tapi itu tidak cukup baginya.

"Keluar." Zalion mendongak saat pelayan itu tengah mengepel lantai yang di hiasi bercak darah.

Mereka hening, namun tak menghentikan pekerjaan yang ada.

"KELUAR!!"

Zalion bangkit dan membanting nakas di depannya.

SCAREDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang