07

8K 650 36
                                    

Hanara menghentikan langkahnya di koridor saat mendapati gerombolan Abian berjalan menuju gerbang depan.

Hembusan nafas keluar dengan jengah. Sungguh, kini melihat wajahnya saja Hanara benar-benar muak.

Jika saja, jika saja Derano tidak nakal sejak awal, mungkin kejadian seperti siang tadi hanya akan menjadi cerita karangan semata.

Tetapi, semua hanya sia-sia, apalagi berharap hal itu tidak pernah terjadi.

Sejak awal Derano memang yang memulai semuanya, mulai menindas adik kelas dan beberapa murid lainnya. Mungkin karena ia merupakan anak dari pemilik sekolah, Derano merasa bahwa apa yang ia lakukan adalah kebebasan sebab baginya mereka hanya menumpang di bangunan yang di miliki keluarganya.

Tapi, semua berubah. Sejak keberanian Hanara yang memang membenci lelaki itu mulai melapor tindakan tidak benar pada Ayahnya, Derano jadi sering mendapat teguran. Dan entah sejak kapan lelaki itu pula jadi mulai mengejarnya.

Derano berubah menjadi anak yang kalem, tidak banyak tingkah seperti sebelumnya.

Abian yang mengetahui hal itu menjadi kesal. Ia yang biasanya hanya menuruti perintah Derano saat menindas murid kini berubah menjadi nekat. Ia menggunakannya nama Derano sebagai ancaman, membuat murid lain menjadi takut untuk melawan.

Hanara sudah muak. Jadi ia bersikap tidak peduli saja karna semua yang di lakukannya hanya berakhir sia-sia. Namun, seiring berjalannya waktu rasa bersalahnya membuncah saat semakin banyak korban yang ada.

Dan baru kali ini Hanara melangkah terlalu jauh, membiarkan pipinya yang lembut di tampar keras oleh bajingan itu.

Mengingatnya Hanara merasa konyol untuk sesaat.



Langkahnya yang tadi menginjak lantai koridor kini sudah sampai di parkiran belakang. Matanya menyipit saat mendapati sosok yang tengah berjongkok di samping motornya.

Mulut Hanara sedikit menganga begitu sampai di sana.

"Hana?"

Zalion mendongak saat tubuh Hanara sampai di depannya. Ia bergerak bangkit hingga tingginya mulai menandingi jauh tinggi Hanara.

"Maaf."

Hanara yang hendak bertanya langsung mengatupkan bibirnya. Ia mendongak menatap Zalion yang sepertinya mengganti seragam basahnya dengan seragam baru.

"Maaf?" Hanara memundurkan tubuhnya selangkah, tangannya bergerak melipat di depan dada, bertanya-tanya apa yang akan di lakukan lelaki lemah di depannya ini.

"Maaf karna aku pengecut." Zalion menundukkan pandangannya, kedua jarinya tertaut gugup.

Hanara yang memperhatikan hal itu kini kembali mendongak melihat ekspresi Zalion.

"Baru nyadar?" Nada suaranya di buat mengejek, Hanara terkekeh kecil seketika.

"Iya, aku terlalu pengecut." Zalion mulai mendongak. Matanya menatap Hanara yang memalingkan wajahnya ke samping.

"Pipi gue sakit gara-gara sikap pengecut lo." Hanara menoleh menatapnya hingga Zalion langsung menunduk mengalihkan tatapan.

Tangan Zalion semakin bergerak gusar mengaitkan jari jarinya.

"A-aku bakal berubah!" Zalion bersuara setengah gugup.

Entah ekspresi ragu atau malu yang di perlihatkan, Hanara tidak perlu susah menunduk untuk melihat eskpresi Zalion yang terus menatap tanah menyembunyikan ekspresinya karna tubuh lelaki itu memang menjulang tinggi.

"Terus?"

Hanara menelisik ekspresinya. Ia ingin tahu apa yang lelaki itu pikiran setelah di beri wejangan olehnya.

SCAREDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang