Chapter 5

1.2K 283 165
                                    

⚠️TYPOS⚠️


Shazia bisa menghitung sudah berapa bulan kelas memasaknya berjalan, karena dia mengingat sesering apa Ali menjemputnya setiap pulang.

Seolah kini telah menjadi sebuah kebiasaan.

Meskipun Ali tidak mengabari lebih dulu—setiap kelas memasak selesai—Shazia setia menunggu di halte terdekat, seolah tahu penantiannya tidak akan sia-sia.

Karena Ali akan selalu datang, menjemput dan mengantarnya pulang.

Pria itu bahkan tak lupa meminta maaf ketika dia terlambat datang jika agendanya sedikit lebih padat dari biasanya.

Shazia tidak menyalahkannya sama sekali ketika tahu pria itu adalah petinggi perusahaan yang baru dipimpinnya beberapa bulan terakhir. Terlambat menjemput Shazia tidak akan menjadikannya kriminal di mata wanita itu.

Sebaliknya, Shazia selalu merasa tidak enak hati karena membebani Ali dengan tugas antar jemput kelas memasak, terutama ketika dia terlalu takut mengemukakan pendapatnya di hadapan Ali.

"Lusa Kakak Ali enggak perlu jemput." Zia bersuara setelah mengumpulkan keberanian sembari meremas sabuk pengaman.

Ali tidak pernah memastikan dua kali apa yang Shazia ucapkan, karena jika dia menyimpan keinginan itu, maka dia perlu menoleh dan menatapnya langsung.

Ali membatasi dirinya karena berbagai alasan, dan sudah menjadi kebiasaan, terutama umi berperan besar dalam hal itu.

"Kakak mau denger alasannya."

Shazia menelan gugup, sikap Ali yang justru tidak pernah melempar tanya penuh keraguan membuat wanita itu selalu tidak karuan.

"Ada acara buka bersama sama temen-temen kelas dan mentor juga. Kebetulan lusa selesai kelasnya agak sore. Jadi, selesai kelas Zia langsung pergi ke tempat yang direservasi. Boleh enggak?"

"Di mana?"

Shazia mengeratkan remasannya pada sabuk pengaman. "Kata mentor nanti dikasih tau detail tempatnya."

"Forward detailnya ke chat. Nanti dianterin."

"I-itu..." Shazia mencicit pelan dan nyaris tidak terdengar.

Meskipun sudah berjalan beberapa bulan, tapi Shazia masih beradaptasi dengan sikap Ali yang terkesan begitu protektif.

"Boleh enggak Zia perginya sama temen-temen aja?"

"Laa."

Ali memutar kemudi setelah melewati lampu merah, sempat berpikir untuk mengimprovisasi penolakan mutlaknya terhadap permintaan Shazia. Tapi dia mengurungkan niat karena dia tahu bahwa wanita itu tidak mungkin berkeliaran sendirian.

"Baik, Kakak."

Hening kembali mengemuka, tak lama kemudian Ali sebuah panggilan darurat menyala di layar.

Panggilan dari asisten yang tak memungkinkan Ali untuk mengantar Shazia pulang ke rumah saat itu juga.

Dia memutar kemudi setelah menimang opsi.

UNRULYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang