Chapter 17

1K 272 43
                                    

⚠️TYPOS⚠️


Shazia benar-benar tidak mengerti mengapa, apapun yang Ali ucap, selalu berpengaruh besar terhadap dirinya.

Jika mengorek lagi kenangan lama, Shazia bisa saja menemukan alasannya dengan akurat, bahkan dia tidak perlu berpikir keras jika mengingat masa kecilnya bersama pria itu. Karena, demi apapun, Ali selalu punya peran besar dalam setiap hela nafas Shazia. Tapi, seperti yang sudah berlalu, apapun itu, Shazia selalu mendapati dirinya kebingungan mengapa Ali punya pengaruh sebesar itu dalam hidupnya?

Apakah cintanya teramat besar?

Apakah jatuh cinta semenegangkan itu?

Kamu punya hutang sama Kakak. Nanti malam ditagih ya

Kalimat itu, kini praktis menjadi sebuah mantra yang sulit lenyap dari pikiran Shazia, melahirkan perasaan resah tak menentu, terutama setiap kali Shazia melirik jam dinding—ketika waktu terus merujuk pada kepulangan Ali.

Jika bisa protes, mungkin otot bibir Shazia akan melempar sumpah serapah karena digigit terus-menerus untuk mengalihkan perasaan gugup tak menentu.

Oh, Demi Tuhan, Shazia awalnya yakin kalimat itu hanya sebaris kelakar untuk mencairkan suasana pernikahan yang sempat membeku, tapi mengingat kembali belasan tahun hidup satu atap bersama pria itu, Shazia praktis dilanda cemas karena Ali adalah pria yang tidak memiliki selera humor.

Bahkan jika Shazia gali lagi ingatannya, setiap kali berkumpul bersama teman-temannya: Ali selalu berperan sebagai tuan muda irit bicara, duduk bersilang kaki sambil memangku segelas minuman, hanya mengamati lalu sesekali tersenyum maklum saat temannya melempar candaan atau bercerita tentang sesuatu yang lucu.

Ketukan pintu tidak pernah terasa semengejutkan petir di dalam hidup Shazia, dia melompat dari tempat duduk dan memandang pintu dengan syok. Tapi itu belum waktunya Ali pulang, dan hal itu diperkuat oleh sosok Umi yang berdiri di ambang pintu.

"Iya, Umi?" Shazia mencoba menjaga nada bicaranya. Tentu saja, tidak mau wanita paling peka di hadapannya tahu bahwa Shazia tengah dilanda gugup.

"Hp kamu kenapa?"

Shazia mengerjap berulang, ada banyak kemungkinan kenapa Umi bertanya demikian, ketika memikirkan satu kemungkinan mutlak sambil melirik nakas, Shazia menyahut. "Hp Zia kayaknya mati."

Umi menghela kecil, nyaris tidak terdengar seperti keluhan, bahkan terkesan seperti pemakluman sebelum kemudian menyerahkan ponselnya kepada Shazia.

"Suamimu."

Shazia otomatis menatap ponsel Umi dan mati-matian menahan raut wajahnya agar tidak tegang seolah tengah menghadapi peperangan.

"Yaa Ghaali?"

"H-hum, Kakak?"

"Kakak udah coba telfon nomor Zia tapi enggak tersambung."

"Itu, mati."

"Enggak apa-apa, Kakak minta tolong, Umi."

Karena bola mata Shazia bergerak terus-terusan ke arahnya seolah dirinya adalah tukang interogasi paling menakutkan, Umi peka untuk mundur dan memberinya ruang.

UNRULYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang