Part 6. Penyembuh Luka

20.1K 87 12
                                    

Saat ini Inaya sedang merebahkan dirinya di atas tempat tidur di samping Bara yang tengah memeluk perut ratanya setelah lelah bercinta.

Bara memejamkan mata meskipun belum terlelap tidur. Inaya menatap wajah tenang suaminya lalu memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan bara.

"Mas..."

"Hmm?!" Bara membuka mata. Memandang Inaya dengan tubuh masih polos dan hanya ditutupi dengan selembar selimut.

"Mau minta lagi?" ucap Bara usil. "Enggak, aku mau nanya mas. Boleh?

"Mau nanya apa?" Bara menarik tubuh Inaya lalu mencium ceruk leher istrinya itu.

"Ihh, mas udah. Dua kali emang kurang?" ucap Inaya sembari mendorong Bara menjauh. "Kalo sama kamu, mas gak akan pernah puas. Selalu pengin nambah terus," jawab Bara sambil terkekeh yang membuat muka Inaya bersemu merah.

"Udah tadi mau nanya apa?" Bara menelentangkan badannya. Menaruh kedua tangannya di belakang kepala.

"Gini, mas. Kemarin waktu kita lagi marahan kan mas gak jadi dapet jatah dari aku. Rasanya gimana?" tanya Inaya dengan serius.

"Rasanya?" Inaya mengangguk. "Iya, rasanya gak dapet jatah dari aku?"

"Emm..." Bara berpikir sejenak menatap langit-langit kamarnya. "Rasanya gak enak, pusing, stress. Pokoknya menderita banget. Pokoknya aku kapok!" ungkap Bara dengan nada sedikit lebay.

Inaya termenung. "Mas Bara yang baru sehari gak dapet jatah aja kayak gitu, gimana pak Rahmat yang udah hampir setahun enggak dapet?"

"Kenapa emangnya? Kok tiba-tiba kamu nanya gitu?" Bara membuyarkan lamunan Inaya. "Enggak papa, kok. Aku cuma nanya." Inaya kembali terdiam. Dia merenungi ucapan suaminya itu yang kini sudah terlelap tidur karena kelelahan.

Keesokan harinya seperti biasa Inaya menjalani pekerjaannya sebagai guru di SMA Dirgantara. Seperti biasa, pak Rahmat membuka briefing pagi kepada seluruh guru yang ada di situ. Tapi berbeda dari hari-hari sebelumnya, pak kepala sekolah tampak tidak terlalu bersemangat seperti biasanya. Dia hanya menjelaskan detail-detail kecil yang menjadi rutinitas guru saat mengajar.

Pak Rahmat yang biasanya juga selalu menyapa Inaya sekarang hanya tersenyum sekilas lalu masuk ke dalam ruangannya. Inaya merasa aneh diperlakukan seperti itu oleh pak Rahmat. Senyum hangat yang selalu ia terima kini seperti hilang dari wajah lelaki itu.

Seperti saat ini. Ketika jam istirahat Inaya membawa data absensi kelas yang dia ampu untuk diserahkan kepada kepala sekolah. Inaya masuk ke ruangan pak Rahmat setelah dipersilahkan.

Pak Rahmat masih sibuk dengan menandatangani beberapa surat. "Permisi, pak. Saya mau mengantar data absensi untuk kelas 3 IPA 3."

"Taruh di situ aja Bu Naya. Nanti saya kroscek," ujar pak Rahmat sembari menunjuk ke arah sebuah meja depan bolpoin yang dia pegang tanpa menatap ke arah Inaya sama sekali. "Sekarang malah manggil Bu Naya. Biasanya cuma manggil nama. Jadi berasa aneh."

Inaya tertegun, namun akhirnya mengangguk. Dia kemudian menaruh lembaran itu di tempat yang semestinya. Awalnya, dia pikir pak Rahmat akan memanggilnya seperti biasa. Sekedar menanyakan kabar atau membahas tentang suatu hal di luar pekerjaan sudah menjadi kebiasaan mereka. Tapi sampai Inaya melewati pintu ruangan itu, pak Rahmat sama sekali tak bersuara.

"Pak Rahmat lagi kenapa, sih?" batin Inaya. Dia meninggalkan ruangan pak Rahmat tanpa ada sebuah obrolan yang berarti.

Inaya mencoba untuk menepiskan pikiran buruk. Tapi itu tidak mudah. Buktinya, sepanjang dia mengajar, pikirannya terus terpaku kepada perubahan sikap pak Rahmat kepadanya. Ada yang aneh, dan Inaya tidak menyukainya.

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang