Part 16. Akhir Hubungan?

5.9K 68 15
                                    

Ibnu berjalan tak tentu arah. Hal ini menyebabkan dirinya sempat menabrak beberapa guru yang berpapasan.

"Kalo jalan matanya dipake dong, pak Ibnu!" omel seorang guru yang melintas.

Ibnu tidak merespon. Rasanya sangat berat hanya membungkukkan badannya untuk meminta maaf. Langkah Ibnu mengantarnya ke sebuah toilet yang letaknya berada di pojok area sekolah.

"Ibnu!" Belum sempat menoleh, tangannya sudah digenggam oleh seseorang. Ibnu merasakan kelembutan dari kulit tangan tersebut.

"Ibnu, biarin aku jelasin dulu!" ucapnya yang ternyata Inaya yang mengejarnya sampai ke sini.

"Jelasin apa, Nay? Jelasin kalo selama ini ternyata kamu selingkuh sama kepala sekolah? Pantesan aja kamu kayak lengket banget sama pak Rahmat. Ternyata ini alasannya!"

"Oke, aku ngaku! Aku gak akan ngelak karena semua udah jelas apa yang kamu liat. Tapi aku punya alasan. Aku mau ngomong sama kamu. Aku harap selesai kerja nanti kamu ada waktu. Aku bakalan ceritain semuanya! Setelah itu terserah kamu mau judge aku kayak gimana."

Inaya melepaskan genggaman tangannya. Dengan mata berkaca-kaca dia berbalik dan pergi meninggalkan Ibnu di sana.

Jujur hati Inaya pun sekarang menjadi tidak karuan. Kejadian tadi membuatnya syok berat. Dia juga merutuki perbuatan mereka yang tidak melihat tempat.

Sepanjang hari pikiran Inaya sama sekali tidak fokus. Dia terus memikirkan apa yang kata-kata yang harus ia pakai untuk menjelaskan permasalahan ini.

Inaya sudah memilih jalan ini, jalan perselingkuhan. Ini adalah konsekuensi atas apa yang ia pilih. Dalam hati dia menyesal telah berselingkuh. Jika saja Bara tidak melakukan hal yang sangat fatal, mungkin... Iya mungkin dirinya sama sekali tidak kepikiran untuk selingkuh.

Sore hari ketika para siswa sudah meninggal sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing, Inaya masih berada di mejanya. Inaya mengambil ponselnya lalu mengetikkan pesan kepada Ibnu.

"Kafe Mocca." Isi pesan tersebut. Saat hendak menaruh benda pipih itu ke dalam tas, mendadak ponselnya berbunyi.

Bukan dari Ibnu, melainkan dari pak Rahmat.

"Kamu yakin gak mau ditemani? Kalo Ibnu ngancem kamu langsung lapor ke bapak, ya."

Jari jemari Inaya langsung menari-nari di atas layar datar itu. "Bapak gak usah khawatir. Inaya bisa jaga diri baik-baik."

Inaya pun beranjak dari tempatnya berdiri. Dia mengendarai motornya ke kafe yang jaraknya sekitar lima kilometer dari sekolah.

Inaya tidak peduli. Ibnu mau datang atau tidak, dia tetap harus kesana. Tapi firasatnya Ibnu akan datang, karena sebelumnya dia tampak sangat penasaran.

Sedikit memperbaiki posisi jilbabnya, Inaya turun dari motor dan melangkah ke arah kasir, memesan sesuatu lalu pergi ke meja yang berada paling pojok.

Setengah jam menunggu Inaya hampir saja putus asa. Dia sudah akan bangkit untuk pulang saat mendapati sosok lelaki yang masih memakai pakaian dinas coklat muncul di hadapannya.

"Maaf telat. Aku baru selesai ngerjain rekapan nilai anak-anak," ujar Ibnu berbohong. Kenyataannya Ibnu sedari tadi sedang menyiapkan hati untuk mendengarkan cerita Inaya. Menyiapkan hati jika Inaya dan pak Rahmat sudah pernah berbagi ranjang.

"Gak papa. Duduk dulu, Nu." Inaya kembali duduk diikuti oleh Ibnu. Lelaki itu tertegun sekaligus tersentuh melihat jus alpukat di hadapannya masih utuh.

"Ini kamu yang pesen?" tunjuk Ibnu ke arah jus alpukat tersebut. Inaya mengangguk. "Kamu masih suka jus alpukat, kan?" tanya Inaya sambil tersenyum manis.

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang