Part 15. Broken Heart

10.5K 57 18
                                    

Inaya berjalan menuju ruang BK. Jantungnya masih berdegup kencang saat Ibnu masuk ke ruang kepala sekolah. Untung saja dia tidak menangkap basah dirinya yang sedang bermain gila bersama kepala sekolah. Kalau saja ketahuan nasibnya bisa hancur.

Ketika Inaya membuka pintu ruangan itu, di sana hanya ada seorang siswa dengan wajah yang babak belur dan seorang satpam sekolah yang berdiri di sampingnya.

Satpam tersebut tersenyum ramah sambil membungkukkan badan. Inaya pun melakukan hal yang sama.

"Yang lain kemana, pak? Kok dia sendirian?" tanyanya. "Ada tiga orang lagi, yang lain udah dibawa ke rumah sakit soalnya pingsan tadi," jelas sang satpam.

Mata Inaya membulat. "Masa iya sampe segitunya? Separah apa sih berantemnya?"

Inaya menurunkan kepalanya. "Terimakasih, pak. Bapak bisa kembali bertugas."

Pria berseragam krem itu mengangguk lalu pergi dari ruangan itu meninggalkan mereka berdua. Inaya menatap lekat ke arah siswa yang duduk sambil memegangi sebelah pipinya yang bengkak dan membiru.

Inaya beralih ke arah seseorang yang duduk di sana. "Namamu siapa? Dari kelas mana?" tanya Inaya setelah dia duduk tepat di kursi depan siswa itu.

Dia mengangkat wajahnya, lalu jari telunjuknya menunjuk ke arah name tag yang berada di sisi kiri dadanya.

"Kamu bisa ngomong, kan? Apa bisu?" tanya Inaya yang tidak terima pertanyaannya hanya dijawab dengan satu jari yang terangkat.

"Ck,, Tristan, Bu," jawab siswa itu pada akhirnya. "Kelas mana?"

"IPA 5."

Inaya menegakkan duduknya sambil melipat tangan di depan. "Kamu tau kan apa yang kamu lakuin? Kamu mau diskors?"

"Mereka duluan Bu yang gangguin temen saya. Masa saya harus diem aja?!" celetuk Tristan tidak mau disalahkan.

"Gangguin gimana maksud kamu?"

"Dibully. Tasnya Argo dimasukin tikus. Sebelum-sebelumnya juga mereka sering ngerjain Argo."

"Kenapa kamu gak laporin aja sama kepala sekolah? Kenapa kamu bertindak seperti jagoan gitu? Kalo kamu gini kamu gak lebih baik dari mereka, tau gak?" ucap Inaya tak kalah nyolot.

"Cih,, emang kepala sekolah bisa apa? Bisa korupsi?" Inaya melotot Mendengar ucapan Tristan yang kurang ajar itu.

"Apa kamu bilang? Kalo ngomong yang sopan, ya! Saya aduin kamu ke kepala sekolah baru tau rasa."

Yang ditatap hanya santai saja sambil melemparkan pandangannya ke lain arah, yang penting tidak bertatapan dengan guru itu.

Inaya menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. Ada saja murid yang tidak punya sopan santun seperti yang ada di depannya itu.

Dia tahu, untuk menghadapi siswa seperti itu tidak boleh menggunakan kekerasan. Karena hal itu pasti akan membuatnya semakin membangkang.

Inaya menetralkan emosinya. Dia duduk di sebelah siswa itu. "Oke, emang niat kamu bagus, melindungi temenmu yang dibully tapi cara ngelawan mereka gak harus pake kekerasan juga. Kalo kamu gitu sama aja kamu sama mereka, tukang bully."

Sejenak Tristan menoleh ke arah guru yang belum pernah mengajarnya di kelas itu. "Mungkin buat sebagian orang caraku salah, tapi caraku ya caraku. Kalo orang yang lebih berwenang gak bisa diandalkan terpaksa harus turun tangan sendiri, kan? Bukannya di dunia ini hukum udah gak berlaku. Orang-orang berduit gampang banget buat beli hukum itu," ungkap Tristan.

Inaya tidak menyela. Ingin menyanggah namun kadang kenyataannya memang demikian. Inaya pun sedikit menarik sudut bibirnya. Ternyata bocah SMA seperti Tristan sudah punya pikiran seperti itu.

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang