Part 9. Kesempatan dan Harapan

18.4K 87 25
                                    

Sore harinya Inaya tetap memutuskan untuk pulang. Dia tidak bisa terus menghindari masalah ini. Jika memang harus berpisah Inaya sudah pasrah. Terus terang saja jika dirinya masih trauma dengan apa yang dilakukan oleh Bara. Bayang-bayang dirinya yang dipukul oleh suaminya itu masih menghantui langkahnya.

Alasan Inaya memutuskan untuk pulang adalah nasihat dari pak Rahmat. Lelaki itu juga ikut mengantar Inaya untuk menjadi penengah dalam mediasi antara Inaya dan suaminya.

"Nay, kamu udah siap? Bapak akan berusaha semaksimal mungkin biar masalah kamu bisa selesai dan gak akan terulang lagi," ucap pak Rahmat seraya meletakkan tangannya di atas punggung tangan Inaya. Inaya tersenyum. Dia merasa dirinya akan baik-baik saja jika bersama pak Rahmat. Ketakutan kepada suaminya berkurang drastis. Kini dia siap menghadapi Bara.

Pukul lima sore, mobil pak Rahmat sampai di rumah Inaya. Rumah terlihat minimalis, sangat jauh dengan rumah pak Rahmat yang terkesan mewah. Mereka kemudian turun. Jantung Inaya berdebar-debar namun pak Rahmat berhasil mengendalikan kegugupannya dengan menepuk bahunya.

Tok...tok...tok...

Pintu rumah itu terbuka dari dalam. Bara muncul dengan wajah kacau, namun ketika melihat siapa yang datang, matanya langsung membulat.

"Sayang, kamu pulang," ucap Bara. Dia berusaha memeluk istrinya yang amat sangat ia rindukan.

Tapi Inaya menolak. Dia justru bersembunyi di belakang tubuh pak Rahmat. Wajahnya menampakkan ketakutan. Tidak bisa dipungkiri dirinya masih trauma dengan apa yang dilakukan oleh Bara.

Suaminya menatap dengan penuh rasa bersalah. Dia kembali berusaha meraih tangan Inaya sebelum wanita itu menyembunyikan tangannya ke belakang.

"Maaf mas Bara. Di sini saya mau jadi mediator untuk membantu menyelesaikan masalah antara anda dan juga Inaya," ucap pak Rahmat yang merasakan remasan Inaya di ujung bawah bajunya.

"Maaf, anda siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya?" sindir Bara dengan wajah yang terlihat emosi.

Namun pak Rahmat bukannya ikutan emosi menghadapi sikap tidak sopan dari suami Inaya itu. Dia justru tersenyum sambil menyorotkan pandangan yang membuat nyali Bara menjadi ciut.

Pak Rahmat mengulurkan tangannya. "Kenalkan, nama saya Rahmat Budiman. Saya orang yang mengasuh Inaya saat kecil, dan saya tidak akan membiarkan orang lain menyakiti Inaya barang seujung kuku pun!" tegas pak Rahmat.

Bara tertegun mendengar ucapan yang amat lantang itu. Bara pun berpikir jika pak Rahmat bukanlah orang sembarangan. Akhirnya Bara mengijinkan pak Rahmat untuk masuk ke rumahnya beserta Inaya.

Pak Rahmat duduk di tengah sedangkan Bara dan Inaya duduk di sebelah kanan dan kiri. Pak Rahmat mulai membicarakan mengenai masalah rumah tangga yang tengah dihadapi oleh Inaya dan juga Bara.

Pria paruh baya itu mengungkapkan dengan pandangan yang objektif. Meskipun pak Rahmat mencintai Inaya, tapi dia sama sekali tidak menggiring opini agar Bara dan Inaya bercerai. Justru dia menasehati Inaya untuk mencoba memaafkan Bara, dan mewanti-wanti Bara agar tidak melakukan kesalahan itu lagi.

Bara yang sebelumnya tersulut emosi hanya bisa menunduk menyesali perbuatannya. Dia salah menilai pak Rahmat. Dia pikir lelaki itu akan membuat Inaya semakin membencinya, tapi dia salah.

"Nay, aku bener-bener minta maaf. Aku khilaf. Aku janji gak akan ngelakuin hal itu lagi," ucap Bara dengan penuh penyesalan.

Inaya diam tak bergeming. Dalam hati masih takut jika emosinya meledak-ledak. Namun pak Rahmat tiba-tiba menyentuh punggung tangannya.

"Nay, suamimu udah minta maaf. Gimana perasaanmu sekarang? Gak baik menyimpan dendam sampe berlarut-larut."

Ucapan pak Rahmat seolah-olah menghipnotis dirinya sehingga tanpa sadar ia mengangguk. Bara yang melihat anggukkan Inaya pun tersenyum lega. Dia harus banyak-banyak berterima kasih kepada pak Rahmat.

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang