Part 12. Tanda Kepemilikan

17.5K 78 17
                                    

Siang itu setelah kondisi Inaya sudah lebih baik, dia diantarkan pulang oleh pak Rahmat menggunakan mobil. Kebetulan hari itu hari Minggu jadi keduanya tidak bekerja.

"Makasih ya, pak. Udah dianterin pulang."

"Kamu yakin gak papa? Nanti kalo suamimu macem-macem bilang aja sama bapak, ya."

Inaya tersenyum mendengar pak Rahmat jadi lebih protektif kepadanya. Tapi dia bersyukur karena kini tidak ada lagi yang ditakutkan olehnya.

Dengan gerakan impulsif, Inaya memajukan wajahnya mencium pipi pak Rahmat. "Kok cuma di pipi? Bibirnya iri nanti."

Inaya tertawa lalu mencubit perut tambun lelaki itu. "Udah mulai nakal bapak, nih sekarang." Meskipun begitu Inaya lantas menahan rahang kuat pak Rahmat sebelum bibirnya mendekati bibir pria yang berstatus sebagai pacarnya itu. Lebih tepatnya pacar gelap.

Niat awalnya hanya ciuman singkat sebagai tanda perpisahan, namun tangan pak Rahmat yang tiba-tiba saja menahan tengkuk Inaya membuat wanita itu tak bisa melepaskan bibirnya dari jeratan bibir pak Rahmat.

Alih-alih menolak ataupun memberontak, Inaya justru menikmati ciuman itu yang semakin lama semakin dalam. Tangan kiri Inaya yang bebas meremas paha dalam pak Rahmat. Memberikan sensasi yang amat nikmat di area selangkangan lelaki itu.

Ciuman berhenti saat tangan pak Rahmat mulai nakal meremas payudara kirinya. "Udah ah, pak! Nanti keterusan."

Inaya membersihkan bekas bibir pak Rahmat atas ciuman yang melibatkan saliva itu menggunakan lidahnya. Tidak ada rasa jijik, justru Inaya merasa berbunga-bunga.

"Ya udah, pak. Aku keluar dulu."

"Iya sayang. I love you."

"I love you too." Sekali lagi Inaya memberikan sebuah ciuman singkat di bibir pak Rahmat sebagai bonus, lebih tepatnya Inaya yang mencuri ciuman itu di saat pak Rahmat tidak siap dan tidak menyangka.

Pak Rahmat hanya tersenyum. Dia suka sekali dengan sikap Inaya yang susah ditebak seperti ini. Dia malah berharap Inaya terus mencuri-curi bibirnya, dia rela dunia akhirat.

Setelah Inaya sampai di depan pintu, dia kembali berbalik sambil melambaikan tangan kepada pak Rahmat. Senyum ceria tercetak jelas di wajahnya yang teramat sangat manis.

Inaya kemudian masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak dikunci. Itu artinya Bara ada di dalam. Benar saja, baru selangkah masuk ke dalam rumah, Inaya langsung dihadapkan dengan sosok suaminya.

Namun bukan dengan raut marah seperti sebelumnya. Bara menatap Inaya penuh kekhawatiran. "K...kamu dari mana, sayang?" ucap Bara terbata-bata. Terlihat jelas kantung mata Bara sudah seperti mata panda.

Itu jelas berarti semalaman Bara sama sekali tidak tidur. "Aku nginep di rumah pak Rahmat. Kangen sama ibu," jawab Inaya setengah berbohong.

Berbeda dengan Bara, wajah Inaya tampak begitu berseri. Jiwanya mengeluarkan aura positif, sama sekali jauh dari perkiraan Bara yang membayangkan wajah sendu, bahkan menangis karena semalam dia meninggalkan wanita itu sendirian.

"Maafin aku, Nay."

"Buat apa?" Inaya yang sedang berjalan masuk ke kamar sedikit menoleh ke Bara yang mengekorinya.

"Buat yang semalem."

"Oh, iya itu. Emang semalem kamu kemana, mas? Kok pergi gak bilang-bilang?"

Benar-benar di luar prediksi BMKG. Inaya menimpali dengan sangat santai dan raut wajah yang tenang, seolah itu bukan masalah apa-apa.

"A...aku kemarin dapet telfon dari atasan. Katanya di kantor ada masalah urgen," jawab Bara berbohong.

Inaya mengangguk pelan lalu kembali melanjutkan langkahnya ke dalam kamar. Bara pun semakin dibuat bingung. Hanya dengan penjelasan seperti itu Inaya percaya?

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang